免費論壇 繁體 | 簡體
Sclub交友聊天~加入聊天室當版主
分享
返回列表 發帖

【转贴】SUKA DUKA DI RRT (1965-1977)

本帖最後由 rainbow 於 2014-5-7 23:27 編輯

SUKA DUKA DI RRT (1965-1977)
Oleh Thio Keng Bouw
Seri ke – 1
JAKARTA – GUANG ZHOU – BEI JING



Tanggal 27 September 1965 pagi, dengan diantar oleh ayahbunda dan adik2ku, saya terbang dengan pesawat Garuda, meninggalkan pelabuhan udara Kemayoran, menuju Canton (Guang Zhou), dalam rangka kunjungan ke RRT, untuk menghadiri perayaan Nasional RRT (1 Oktober 1965).

Semua anggota keluarga merasa gembira dan bangga, karena putera sulungnya bisa jalan2 ke luarnegeri, sebagai wakil Pemuda Indonesia, atas undangan Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok.
Sebelum naik ke atas pesawat, saya masih sempat menoleh ke belakang, tampak dari kejauhan, ayahbunda dan adik2ku me-lambai2kan tangan, memberi ucapan selamat jalan, sayapun membalas lambaian tangan ini, lambaian tangan yang ternyata berusia 37 tahun lamanya. Tahun 2002 saya baru menginjak kembali ke bumi Indonesia tercinta. Bertemu muka kembali dengan mereka..

Di tengah perjalanan, pesawat terpaksa berhenti dulu di Pnom Phen, ibukota Kerajaan Kamboja, karena wilayah udara Vietnam sedang berlangsung pertempuran dahsyat antara Vietnam melawan AS.
Kami sempat mengambil foto bersama dengan beberapa anggota Delegasi Pemuda dan wartawan Berita Minggu (organ PNI),
Rondang Erlina Marpaung, deklamator yang kenamaan di Jakarta. Sore harinya, pesawat mendarat di bandara Bai Yun (Canton) Alangkah terkejutnya saya, interpreter yang menyambut kedatangan kami, ternyata adalah tetangga dan teman sekolah ketika di SMA, Li Kuo Siang namanya, masih satu angkatan dengan saya angkatan 57 SMA Pa Tsung Jakarta. Ya, kini status kami berbeda, dia WN RRT sebagai tuan rumah, saya WNI sebagai tamu Negara. Rombongan delegasi dibawa ke Hotel terbaik di Canton ketika itu, Yang Cheng Bing Guan, yang kini berganti nama menjadi Dong Fang Bing Guan, Hotel bintang 5, dimana KJRI di Guangzhou kini bertempat.

Malam harinya tuan rumah mengadakan jamuan makan resmi untuk menyambut Delegasi Pemuda Indonesia, yang diketuai oleh Pemuda Demokrat (PNI), kalau enggak salah Sudharmanto
namanya.
Suasana persahabatan yang kental memenuhi ruang perjamuan, maklum RI dan RRT ketika itu sedang berada dalam hubungan persahabatan terbaik dalam sejarah.

Malam itu juga. saya menulis kartupos bergambar, untuk orangtuaku di Jakarta, dan teman2ku di Bandung. melaporkan tibanya dengan selamat saya di RRT.
Saya tulis, dalam kunjungan selama 3 minggu ini, saya akan belajar kepada negara sahabat Tiongkok, bagaimana mereka berhasil membangun negaranya dari negeri setengah jajahan dan setengah feodal yang terbelakang, menjadi negeri Sosialis yang relatif lebih maju ketimbang Indonesia ketika itu. Indonesia pada 1959-65 juga menganut teori sosialisme, juga ingin menempuh jalan yang dirintis oleh RRT, membangun Indonesia menjadi masyarakat sosialis a la Indonesia, yang adil dan makmur, yang bebas dari penghisapan manusia atas manusia.. Demikian teori politik yang kuperoleh dari bapak Ruslan Abdulgani, guru politikku dalam Kursus Kader Revolusi di Jakarta pada awal 1965.

Malam itu, sampai larut sekali, aku baru bisa memejamkan mata, belum bisa menyesuaikan diri dengan ranjang yang empuk di hotel yang mewah, yang belum pernah kualami sebelumnya.
Masih terbayangkan penghidupanku yang serba melarat di Bandung, karena inflasi yang berkecamuk selama 1959 s/d 1965 di Indonesia.
Sebagai anggota Delegasi Indonesia, saya memakai stelan jas baru, sepatu baru, pakaian baru, kofer kulit serba baru, yang kuperoleh dari sumbangan teman2 PPI, dan
pamanku yang termasuk keluarga berada di Jakarta.
Mereka merasa bangga kepada saya, dan mengetahui betul pakaian yang kumiliki terlalu butut untuk dikenakan dan tampil sebagai wakil Indonesia di forum internasional.

Keesokan paginya, kami mendapat sarapan pagi yang lux buat saya, 2 telor mata sapi, roti mentega, kopi susu, ham, dan kue tart. Di Bandung, pagi2 aku cuma makan bubur, nasi kuning yang cuma pakai bawang goreng , kerupuk dan sambel oncom doang, atau kadang2 cuma makan ubi rebus saja.
Setelah sarapan kami diajak meninjau monumen2 bersejarah dari Canton, diantaranya monumen pahlawan revolusi nasional Tiongkok, mengenangkan pengorbanan mereka terhadap perjuangan melawan penindasan yang kejam dari pemerintahan Manchuria (Dinasti Tsing) dan pemerintahan raja perang (periode 1911-1927), Hati kami semua tergugah, karena Indonesia juga merebut kemerdekaannya dengan revolusi bersenjata, ratusan ribu pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan heroik mengusir Kolonialisme Belanda.

Siang itu, kami dijamu makan lagi, kemudian diantar ke bandara Bai Yun, untuk melanjutkan perjalanan menuju Peking, ibukota RRT, di mana perayaan Hari Nasional itu dilangsungkan.

Malam itu juga, pesawat udara mendarat di bandara Peking (kini dikenal dengan istilah Bei Jing), rombongan disambut oleh wakil dari Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok, bapak Hu Chi Li anggota Presidium Pusat GPST.
Karena sudah larut malam, rombongan langsung dibawa ke Hotel Min Chu, dimana kami akan bermalam selama seminggu. Di Hotel sudah disediakan makan malam yang mewah. yang banyak masakan2 lezad yang jarang kualami sebelumnya.
Ya inilah protokoler untuk tamu negara, yang cuma pernah kujumpai ketika di Kedutaan Besar RRT, pada tanggal 24 September 1965, jamuan makan untuk mengantar delegasi Indonesia ke Tiongkok.

Saya sekamar dengan wakil dari GMNI (sayang sudah lupa namanya), kami berdua ngobrol dengan uplek sampai menjelang subuh.

Tanggal 29 September 1965, kami melakukan kunjungan kehormatan ke Gedung Pusat dari Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok, di sana telah dilakukan pembicaraan ramahtamah dari hati ke hati, kemudian dijelaskan
acara kunjungan selama 3 minggu ini, seminggu di Peking, seminggu di Shanghai dan seminggu di Canton.

Setelah itu, dilakukan tukar menukar tanda mata (souvenir), saya membawa buku Koleksi Lukisan Bung Karno sebagai souvenir dari PPI untuk GPST. Juga lencana RI dan pici nasional untuk tuan rumah yang hadir ketika itu.
Seusai pertemuan ramah tamah itu, kami diajak jamuan makan penyambutan yang resmi di sebuah restoran ternama di Peking. Lupa lagi apa nama restoran itu, yang masih teringat adalah sup ayam asparagus dan champignon yang sungguh lezad dan harum bening, gurih yang wajar, karena tak menggunakan vetsin. Dalam perjamuan resmi itu, Sudharmanto dan Hu Chi Li, masing2 mengucapkan pidato2 yang inti pokoknya mendoakan agar persahabatan dua bangsa dan dua negara semakin dipererat dan diperkokoh, atas dasar Semangat Bandung
(Konperensi Asia Afrika 1955).
Setelah itu, kami diajak sightseeing keliling kota, menyaksikan gedung2 baru kota Peking, Lapangan Tian An Men, Gedung Kongres Rakyat, Gedung Museum Sejarah, dan Tugu Pahlawan Rakyat.
Malam harinya kami diajak menghadiri Malam Gembira penyambutan, disamping acara kesenian yang ditampilkan oleh tuan rumah, para anggota delegasi Indonesia tampil melantangkan lagu NASAKOM BERSATU, lagu yang paling sering dinyanyikan di RRT, sebelum delegasi Indonesia bubar. Juga lagu Rayuan Pulau Kelapa dan Bengawan Solo yang sudah dikenal oleh tuanrumah.

Tanggal 30 September 1965 malam, telah diadakan Perjamuan Resmi Kenegaraan, mengambil tempat di gedung Kongres Rakyat Nasional RRT di Tian An Men. Perjamuan dihadiri oleh 5000 peserta, diantaranya
termasuk 500 tamu dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat Indonesia. Delegasi Indonesia ini diketuai oleh Chaerul Saleh, ketua umum MPRS ketika itu.
Delegasi Indonesia konon yang terbesar jumlah anggotanya, ketimbang delegasi2 negara lainnya.
Dari pimpinan Negara RRT. hadir Mao Tjetung, Liu Shaochi, Chou Enlai, Chu Teh dan Peng Chen. Kami semuanya merasa bergembira, karena bisa makan bersama dengan tokoh penting yang paling top di RRT ketika itu. Yaitu Ketua Partai Komunis Tiongkok, Presiden RRT, Perdana Menteri RRT, Ketua Kongres Rakyat Nasional dan Wali kota Peking.

Peng Chen sebagai wali kota Peking dan anggota Politbiro CC PKT, memberikan kata sambutan selamat datang, untuk para tamu dalam dan luar negeri., menceritakan kemajuan2 perekonomian Tiongkok pada 1963/1965. Sebagaimana kita sama2 ketahui, pada kurun waktu 1959-1962, karena kesalahan garis politik, Tiongkok diserang musibah kelaparan, jutaan jiwa kena penyakit busung lapar. Ratusan ribu mati kelaparan. Setelah garis salah dikoreksi, Liu Shao Chi naik jadi Presiden RRT, telah dilakukan politik baru yang memberikan kelonggaran kepada petani. Agar meningkatkan produksi pertanian. Memborong produksi kolektif ke dalam rumah,meningkatkan kegairahan berproduksi para petani, maka penghasilan petani mulai meningkat, perekonomian Tiongkok mulai pulih kembali seperti sediakala.


Bersambung ke seri ke-2 PARADE NASIONAL DAN PESTA KEMBANG API


Seri ke 2

PARADE NASIONAL DAN PESTA KEMBANG API

Oleh Thio Keng Bouw


Tanggal 1 Oktober 1965, setelah sarapan pagi, 15 anggota delegasi Front Pemuda Indonesia, berangkat dengan minibus, menuju Lapangan Tian An Men, yang terletak di pusat kota Peking.

Udara pagi itu sungguh cerah, hampir tak ada awannya. Kami diantar ke podium para tamu yang terletak di sebelah kiri pintu gerbang. Di atas pintu gerbang tergantung gambar Mao Tjetung, Ketua Partai Komunis Tiongkok.

Semuanya bergembira, karena untuk pertama kalinya menyaksikan sendiri Parade Nasional yang diadakan setahun sekali. Sebelumnya kami pernah menyaksikan melalui film2 dokumenter di Jakarta. Tak lama kemudian, seluruh podium penuh dengan tamu2 dari berbagai peloksok dunia, yang berada di sekeliling kami kebanyakan tamu2 dari Indonesia, tapi, kebanyakan tak kukenal.

Tak lama lagi, podium utama yang terletak di atas pintu gerbang Tian An Men penuh dengan para tamu agung, pimpinan negara Tiongkok, seperti Mao Tjetung, Liu Shao Chi dan lain2nya. tamu negara yang penting, seperti Chaerul Saleh, ketua delegasi MPRS Indonesia. Ya, cuma yang menjabat sebagai Presiden, perdana menteri atau ketua Parlemen yang bisa tampil di podium utama, berdiri berdampingan dengan pimpinan utama RRT.

Tiba2 terdengar suara musik orkes tiup militer bergema, dengan lagu Ge Chang Zu Guo atau Lagu Pujaan Kepada Tanah Air, yang diiringi oleh derap langkah iring2an parade nasional yang termegah dan terbesar yang pernah kusaksikan sebelumnya.

RRT sebagai negara yang penduduknya terbesar di dunia, tampaknya harus memperlihatkan kebesarannya melalui parade ini. Luar biasa menajubkan, kolosal dan megah. Meskipun harus berdiri hampir 3 jam lamanya, kaki belum terasa penat, saking menariknya barisan2 yang beraneka ragam, penuh dengan warna warni pakaian seragam dan pakaian suku bangsa, ber-macam2 kendaraan berhias silih berganti meluncur di hadapan kami.

Selesai parade nasional ini, kami diantar kembali ke Hotel Min Zhu untuk makan siang. Sepanjang jalan, tak henti2nya para anggota delegasi pemuda memuji kedisiplinan, kerapihan, keindahan parade yang bagaikan taman bunga yang berbaris dan berparade. Santapan di Hotel sesuai dengan protokoler Negara. Santapan lezad terdiri dari 6 sayur dan daging, 1 sup panas, es krim dan buah2an. Makanan yang cuma dalam pesta pernikahan keluarga hartawan yang bisa menandinginya. Inilah yang kami makan selama 3 bulan pertama di RRT. Sampai lambat laun menjadi bosan, kepingin nasi nyanyah, atau nasi goreng tanpa minyak kecuali garam doang, makanan orang Sunda yang sering aku makan setiap pagi di rumah orangtuaku.

Siang harinya, tak ada pengaturan acara apa2 dari tuan rumah, karena malam harinya ada acara penting, menikmati pesta kembang api di lapangan Tian An Men.

Kesempatan ini kupergunakan untuk bertemu dengan kakak misanku di Peking, yang baru saja lulus FKIP jurusan bahasa Inggeris, dan bekerja sebagai guru bahasa Inggeris di SMA No.35, Peking. Gajihnya cuma 48 Yuan RRT, hanya cukup untuk hidup sederhana di Peking. Ahli2 Indonesia yang bekerja di Pustaka Bahasa Asing dan Universitas Bahasa Asing, konon menerima honorarium 600 Yuan per bulan, tinggal di Hotel Persahabatan, hidupnya serba enak dan mempunyai uang simpanan untuk kelak dibawa pulang ke Indonesia setelah selesai kontrak kerjanya.

Seorang adik misanku baru lulus di Sekolah Ballet di Peking, tunangan kakakku juga baru lulus fakultas sastera Tionghoa, Mereka bertiga datang ke Hotel Min Zhu, bertemu dengan saya di ruang lobby Hotel. Kakak misanku memberikan uang 5 Yuan RRT, untuk membeli perangko, minuman dlsb, karena uang saku sebagai anggota delegasi belum dibagi2kan. Kami berempat ngobrol uplek sekali, karena sudah 5-6 tahun meninggalkan Indonesia, pengetahuan tentang situasi Indonesia, situasi jaman Manipol-Usdek, jaman Nasakom, jaman Ganefo cuma mereka dengar serba sedikit melalui surat kabar Tiongkok yang sangat minim sekali berita internasionalnya. Mereka ter-heran2 mendengar saya bercerita tentang situasi nasional dan internasional yang kubaca melalui surat kabar Indonesia, banyak yang mereka baru pertama kali mendengar berita2 itu. Mereka sedikitpun tidak mengira saudara misannya bisa menjadi tamu Negara, menjadi anggota delegasi pemuda. Sebab mereka mengira PPI cuma perkumpulan kecil yang aktivitasnya cuma sepeda trip, piknik, olahraga, pancing ikan, tari-menari dan paduan suara tok. Saya katakana bahwa PPI sudah mempunyai 236 cabang dengan anggota 200 ribu lebih di seluruh Indonesia.

Pertemuan keluarga ini berlangsung 3 jam lamanya, karena saya harus siap2 dengan acara malam dari tuan rumah.

Setelah makan sore, kami berangkat lagi dengan mini bus ke Lapangan Tian An Men, untuk menyaksikan Pesta Kesenian dan Pesta Kembang Api. Setibanya di lapangan, tampak penuh dengan lautan manusia, banyak pertunjukan2 terbuka dalam lapangan sebesar Tian An Men itu, semuanya dipentaskan oleh berbagai perkumpulan kesenian, sekolah tari dan sekolah musik di Peking. Belum pernah kusaksikan begitu banyak pentas kesenian terbuka di lapangan sebesar itu, Sungguh hebat kegiatan seni budaya Tiongkok ketika itu. Kamipun terinspirasi untuk ikut menari (lebih tepat disebut lenso atau joget yang sedang hangat2nya berkembang di Istana Negara ketika itu). Yang paling banyak kita ikuti adalah rombongan tari dan nyanyi dari Sin Kiang, Monggolia dan Tibet, yang pakaiannya warna warni, lagunya merdu serta penari ceweknya muda belia dan cantik2., tentu sudah dirias sebelumnya. Penari2 Tiongkok ini sangat bersahabat dengan kami, yang oleh interpreter diperkenalkan sebagai tamu Negara yang menghadiri pesta seni ini. Senyum persahabatan, jabat tangan erat, senantiasa memenuhi lapangan Tian An Men itu.

Tak lama lagi terdengar suara menggelegar dan di langit tampak kembang api 12 warna beterbangan dan muncrat, dengan berbagai corak dan motif indah memenuhi angkasa.raya.

Semua kepala kami menengadah ke udara, menyaksikan pesta kembang api terindah di dunia. Para penonton sebentar2 bersorak riuh rendah, bertepuk tangan gegap gempita ketika menyaksikan sesuatu yang sangat indah sekali, yang sukar dilukiskan dengan kata2 atau tulisan. Pendek kata, semua merasa beruntung sekali bisa menikmati pesta seni dan kembang api ini, yang seumur hidup mungkin cuma satu kali saja kesempatannya. Jam 10 malam kami semua kembali ke Hotel, badan sudah letih sekali, langsung naik ke ranjang untuk tidur.

Tengah malam buta jam 12, kamar kami diketuk, diberitahu tentang kejadian mengejutkan di Indonesia. bahwa di Jakarta telah terjadi kudeta militer yang gagal, dan telah ditumpas oleh ABRI .Setelah itu suasana jadi prihatin sekali. Ini yang kemudian hari kita kenal dengan Peristiwa G30S. Yang menyampaikan adalah ketua delegasi Front Pemuda, berita yang baru saja ia terima dari teman2nya yang bekerja di KBRI Peking yang selalu mengikuti siaran RRI. Kami sudah 5 hari tidak mendengar radio apapun, terputus dengan situasi Indonesia sama sekali.

Keesokan paginya, ketika sarapan pagi, semua orang Indonesia yang tinggal di Hotel Min Zhu ramai sekali membicarakan perubahan drastis situasi politik di Indonesia. Kami membuka surat kabar RRT, sedikitpun tidak memuat berita maha penting ini, seingat saya baru pada tanggal 20 Oktober 1965. 3 minggu setelah kejadian G30S, barulah suratkabar RRT menyiarkan secara terbatas cuplikan2 surat kabar Indonesia dan pers dunia., tentang apa yang terjadi di Indonesia selama ini.

Inilah karena sistim sensor pers yang ketat di RRT , cuma para pejabat tinggi saja yang setiap hari bisa mengikuti apa yang terjadi di Tiongkok dan di seluruh dunia, melalui surat kabar intern yang terbatas jumlah oplah dan pembacanya. Surat kabar intern ini selesai dibaca harus dikembalikan kepada pimpinannya, tidak boleh dibawa pulang atau difotocopy. Untung saja yang kami dengar via teman2 di KBRI cukup banyak, karena 24 jam terus menerus mengikuti apa yang terjadi di Indonesia. Meskipun tidak lengkap, tapi lumayan deh, karena di Hotel2 atau di manapun di Peking (juga di seluruh Tiongkok), kami tidak bisa membaca surat kabar asing apapun, kecuali surat kabar Partai dan Negara Tiongkok sendiri.

Acara peninjauan terus berlangsung, seperti yang direncanakan oleh tuanrumah. Tidak terhenti karena suasana mendadak di Indonesia itu. Di sepanjang jalan dalam peninjauan, kami 15 anggota delegasi, masih terus menyanyikan lagu Nasakom Bersatu yang sangat populer ketika tahun 60-an, padahal di Indonesia, pada saat itu, apa yang disebut persatuan nasional berporoskan Nasakom sudah hancur dengan meletusnya G30S itu. Sampai tanggal 6 Oktober, ketika kami mendengarkan siaran RRI di salah satu Hotel di Shanghai, setelah mendengar berita keputusan Front Pemuda Indonesia Pusat telah memecat organisasi dari 5 anggota delegasi ke RRT ini, yaitu Pemuda Rakyat, CGMI, APPI, Pemuda Indonesia dan PPI. Persatuan Nasakom di dalam delegasi Front Pemuda Indonesia di Tiongkok resmi pecah, dan berakhir untuk se-lama2nya di bumi Indonesia.

PPI yang saya wakili juga dipecat oleh Front Pemuda, saya merasa ter-heran2, karena merasa dirinya termasuk golongan Nas, kok tiba2 dikategorikan menjadi golongan Kom. Saya sendiri sebagai murid Ruslan Abdulgani (PNI) dan pengikut setia Bung Karno, merasa kaget sekali, sejak kapan Bung Karno dan Cak Rus menjadi Komunis? Akhirnya, saya sadari juga, kotornya permainan politik, hitam bisa dikatakan putih, dan begitupun sebaliknya. Suka atau tak suka harus menelan pil pahit ini.

Dan ketika itu saya segera mengambil keputusan, untuk sementara tidak pulang ke Indonesia dulu, menunggu sampai situasinya agak reda dan tenang, baru pulang ke tanah air Indonesia.

Sedikitpun tidak terbayangkan, keputusan salah saya ini, berakibatkan dengan ter-katung2nya saya selama 37 tahun di luar negeri, dan dicoretnya nama saya dari daftar kewarganegaraan Indonesia.

Belakangan baru saya ketahui, bahwa teman2 seorganisasi saya di PPI Bandung, paling lama cuma ditahan sebulan lamanya, karena Gubernur Jawa Barat Brigjen Mashudi adalah sahabat kami, dan beliau tahu betul apa saja yang kami kerjakan di Bandung selama itu. Cuma 2 anggota pimpinan PPI Pusat di Jakarta yang ditahan dan dikirim ke Pulau Buru. Dan baru dibebaskan pada 1978, itupun karena kegiatan politiknya yang terlalu menonjol ke-kiri2an di Front Pemuda Indonesia Pusat.

Jika saya pulang ke Indonesia pada waktu itu, rasanya paling lama saya cuma ditahan 3 bulan saja, atau mungkin cuma 1 bulan tok. Karena PPI Bandung dimana saya menjabat sebagai Ketuanya, senantiasa bekerjasama dengan semua unsur Nasakom di Bandung. Kami dengan teguh berpegang kepada ajaran Bung Karno, mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia sebagai tugas utama kita. PPI Bandung terkenal dengan Rombongan Keseniannya, yang sudah mementaskan ratusan pertunjukan di 50 kota2 besar dan kecil di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara, selama periode 1960-1965.

Sejak 6 Oktober 1965, hubungan antar delegasi Pemuda menjadi agak aneh, agak canggung. Tidak ada yang menyanyikan lagi lagu Nasakom Bersatu, sebab semuanya tahu bahwa persatuan nasional berporoskan Nasakom sudah dirusak oleh Peristiwa G30S.

Acara peninjauan yang semula 3 minggu itu, oleh pimpinan delegasi Indonesia diputuskan untuk dipersingkat menjadi 10 hari. Ketua delegasi menyampaikan keputusan untuk segera pulang ke tanah air dan membatalkan semua sisa acara di Shanghai dan Canton. Saya dan 4 anggota delegasi lainnya (seorang dari Pemuda Rakyat, seorang dari CGMI, seorang dari Pemuda Indonesia dan seorang lagi dari Pemuda APPI) memutuskan untuk terus mengikuti acara peninjauan sampai selesai. Sejak itu berpisahlah dengan 10 anggota delegasi lainnya, yang kabarnya pulang ke Indonesia via Hong Kong, karena kabarnya hubungan Garuda Indonesian Airways antara Jakarta dengan Canton telah terputus.

Di Shanghai, saya bertemu dengan saudara piauw (anak Pak De dari fihak ibu), Albert Wu namanya, dia khusus datang menjenguk saya di Hotel, saya bawa titipan ibunya berupa arloji tangan, di lobby Hotel kami ber-bincang2 selama 3jam, kemudian saya main piano di lobby Hotel, mainkan lagu2 Indonesia yang sering saya mainkan di Bandung.

Saya baru tahu bahwa dia bekerja sebagai insinyur di Perusahaan makanan kaleng Ma Ling yg terkenal itu, sayapun berkesempatan pergi meninjau ke pabrik dimana dia dan calon isterinya bekerja.

Selesai acara peninjauan di Shanghai, kami meneruskan perjalanan ke Canton. Setiba di Canton, tuan rumah menyampaikan sepucuk surat dari ketua delegasi Front Pemuda Indonesa Pusat, yang isinya menyatakan kami berlima dipecat dari keanggotaan delegasi, dan dituntut agar kami semuanya melaporkan diri ke KBRI di Peking, kemudian segera pulang ke Indonesia. Tuntutan ketua delegasi ini tak kami penuhi, wong sudah dipecat, kok masih memerintahkan harus begini harus begitu, demikian fikir saya ketika itu Kami tetap meneruskan acara peninjauan di Canton.

Bersambung ke seri – 3 : BERLATIH PIANO 8 JAM SEHARI..

TOP

Seri ke – 3

BERLATIH PIANO 8 JAM PER HARI

Oleh Thio Keng Bouw


 Setelah mengambil keputusan untuk menunda kepulangan ke Indonesia, Kami berlima masih terus diatur peninjauan ke objek2 wisata sekitar Canton. Disamping itu, kami terus menerus mengikuti perkembangan situasi Indonesia, yang kian lama kian mempersulit kepulangan kami, kecuali bersedia diciduk di Bandara Kemayoran.

 Kami ditampung di Guest House Guang Dong yang cukup lux, karena ini adalah guesthouse yang khusus dibangun untuk tamu2 negara tingkat nasional. Chaerul Saleh juga menginap di sini ketika berkunjung ke Canton. Kami tetap diberi santapan lezad sesuai dengan peraturan protokoler. Sarapan pagi berupa 3 butir telur matasapi, roti mentega dan jam buah2an, air jeruk dan kopi susu. Siang dan sore makan nasi dengan 4 macam sayur dan daging, satu sup dan buah2an. Malam harinya, jika kebetulan lapar, tinggal pencet bel, maka akan datang pelayan, kami bisa pesan kopi atau susu panas, dengan kue bolu atau kue tarcis, atau bakmi pangsit. Setiap bulan kami tetap menerima uang saku 30Yuan, disamping itu, setiap hari diberi sebungkus rokok merek Chung Hua, rokok termahal di RRT, yang harganya setengah Yuan per bungkus.

 Ketika musim dingin tiba, kami diajak pergi ke toko. Untuk memilih pakaian dingin, sweater wol, sepatu kapas, baju anoman. Pendek kata tuanrumah secara baik melayani segala kebutuhan yang layak sebagai tamu yang untuk sementara tak bisa pulang ke tanahairnya.

 Lama2. penghidupan demikian sangat membosankan, pada awal Desember saya majukan permintaan untuk meminjam piano untuk latihan, karena sudah ada rencana untuk memperdalam pengetahuan musik dan penguasaan main piano saya di Konservatorium Pusat di Peking. Permintaan saya dikabulkan, saya boleh berlatih sesukanya.menggunakan piano yang berada di Gedung Seaman Club Sha Mian, Guang Zhou. Setiap pagi, sehabis sarapan, saya diantar dengan mobil sedan, untuk berlatih piano selama 4 jam. Setelah istirahat siang untuk makan, diantar kembali dengan sedan, dan terus berlatih lagi 4 jam lamanya., kemudian diantar pulang ke Guest House.

 Malam harinya kita kumpul untuk ngobrol ngalor ngidul, di sini kami satu guest house dengan Ir Soeharyo Sekjen Universitas Baperki, Budiman Sudharsono mantan Ketua umum IPPI, Ang Hong To wartawan olahraga harian Warta Bhakti, semuanya masih berharap bisa pulang dalam waktu tak lama lagi, sedangkan saya perkirakan akan bermukim selama 5 tahun di RRT. Maka kesempatan yang diberikan oleh tuanrumah untuk belajar di Konservatorium Musik, takkan saya sia2kan begitu saja. Pada tahun 1960, ketika masih kuliah di fakultas Hukum di UNPAR Bandung, saya sudah mulai les piano dan ber-cita2 akan menjadi guru piano kelak. Ketika itu, semua teman dan famili saya menertawakan ide saya yang bertolak belakang dengan kenyataan, tidak realis. Tapi saya tak ambil perduli, saya terus mengambil les kepada guru piano Hongaria kenamaan di Bandung, Becalel namanya, saya termasuk murid piano yang disayangi beliau, karena rajin berlatih, rata2 3 jam sehari, dalam waktu 2 tahun sudah lulus tingkat 5, yang lazimnya harus ditempuh dalam tempo 5 tahun. oleh siswa yang normal. Setelah itu, saya sadari bakat musik yang terpendam dari saya, berbulat tekad untuk mewujudkan cita2 jadi guru piano itu.

 Karena kesibukan dalam PPI, ditambah lagi inflasi yang menghebat di Indonesia, saya tidak punya uang lagi untuk les kepada Becalel, tahun 1962 saya berhenti les, tapi masih terus belajar sendiri tanpa guru. Kini di Canton, saya juga belajar sendiri dengan buku2 piano yang saya beli di toko musik di Canton, setiap hari berlatih kayak orang bekerja di kantor saja, 8 jam lamanya. Ketika itu buku2 musik (piano) klasik Barat masih lengkap di toko buku.

 Pertengahan Januari 1966, saya dipindahkan ke Peking. Wah hati saya senang sekali, sudah tambah dekat dengan Konservatorium musik. Begitu menginjak bandara udara Peking, kaki saya seperti menginjak es batu yang dingin sekali, karena masih pakai sepatu yang dibawa dari Indonesia. Ketika itu suhu udara di Peking sudah 20 derajat Celsius dibawah nol. Kulit muka terasa perih sekali, karena angin dingin dari Siberia yang dinginnya sampai masuk ke tulang sumsum. Setibanya di Hotel Peking, Xiao Yang interpreter GPST (Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok), menyajikan semangkuk besar pangsit kuah panas2, lengkap dengan sambelnya. Wah betul2 nikmat sekali. Dengan cepat, pangsit kuah tersebut habis masuk ke perut. Kepingin tambah lagi setengah mangkuk, tapi masih agak malu, ya sudahlah. Malam itu dan selama 1 bulan berikutnya, saya bermalam di Hotel Peking, hotel yang paling top ketika itu (kini tetap merupakan Hotel bintang 5). Malam itu hidung saya berdarah, ternyata belum bisa menyesuaikan diri dengan iklim musim dingin di Peking yang sangat kering. Saya diajari agar menaruh waskom besar berisi air, diletakkan diatas heater (central heater), dengan demikian akan menambah kelembaban kamar tidur. Dan dianjurkan banyak minum air putih.

 Keesokan paginya, diantar oleh Xiao Yang, saya pergi ke Wang Fu Jing, pusat perbelanjaan utama di Peking, pergi membeli sepatu kapas, mantel bulu untuk melawan hawa dingin, juga membeli cream untuk kulit tangan dan muka, masker putih yang biasa dipakai oleh dokter di rumah sakit. . Setelah itu, barulah badan terasa hangat, tidak takut dingin lagi, dan kulit tidak mudah pecah.

 Xiao Yang adalah pemuda yang usianya 4 tahun lebih muda dari saya, kelahiran Semarang, Indonesia. Lulus SMA di Pa Hua Jakarta. Orangtuanya masih di Indonesia. Ada ratusan ribu Hoakiau asal Indonesia, pada tahun2 50-an dan awal 60-an yang bersekolah di RRT, setelah lulus, diatur pekerjaan oleh pemerintah. Xiao Yang termasuk interpreter yang jempolan, suaranya kaya penyiar radio RRI, penguasaan bahasa Tionghoa dan Indonesianya baik, dan ia juga rajin belajar bahasa Inggeris, dan sedikit bahasa Spanyol. Tahun 1971, dengan seizin Hu Yao Bang, mantan orang pertama Liga Pemuda Tiongkok, yang pada tahun 1980 pernah jadi orang kedua di Tiongkok setelah Deng Xiaoping, Xiao Yang pindah ke Hong Kong sampai detik ini.

 Ketika saya tanyakan, apakah ada piano di Hotel Peking? Jawabnya tak ada. Kalau mau latihan piano. harus pergi ke Ba Da Chu, sanatorium untuk pemuda pelajar Asia Afrika, yang letaknya kira2 25 KM dari Peking. Kesal juga rasanya, saya harus setop latihan pianonya. Tapi tak bisa berbuat apa2, karena begitulah nasib sebagai tamu, dan sayapun tak punya uang untuk membeli piano. Andaikata ada uang, juga tak punya tempat untuk menaruh piano itu. Bersabar sajalah dulu. Namun makanan di Hotel Peking enak sekali, terdiri dari 6 laukpauk, satu sup, es krim dan buah2an. Badan saya sudah bertambah 10 KG setelah 4 bulan di RRT Belum ada kegiatan apa2, kecuali HARDOLIN (dahar modol dan ulin nakasa Sunda ini artinya makan, buang air besar dan jalan2). Kadang2 pergi ke Hotel2 yang ada tamu Indonesianya, ngobrol ngalor ngidul tentang situasi, tanpa ada kesimpulan apa2 yang berarti. Yang paling sering saya kunjungi adalah Hotel He Ping, cuma 15 menit jalan kaki dari Hotel Peking. Karena makanannya paling cocok dengan lidah Indonesia, konon kokinya pernah bekerja di Kedutaan Besar RRT di Jakarta, banyak belajar masakan Tionghoa di Indonesia.

 Sebulan cepat sekali berlalu, kami dipindahkan ke Sanatorium Asia Afrika. Karena di sana ada 4 pemuda asal Indonesia yang sedang menerima perawatan khusus. karena menderita sakit paru2. Pendek kata rombongan pemuda dari empat penjuru dikumpulkan menjadi satu di sini, ada yang dari Moskow, dari Praha dan lain2. Ini ada baiknya juga, karena demi penghematan beaya. Terlalu lama tinggal di Hotel Bintang 5, sangat boros sekali, dan lama2 kamipun bosan dengan makanan hotel yang terlalu gurih dan enak. Tapi kami semuanya mendapat asrama yang terpisah, tidak menjadi satu dengan para penderita penyakit paru2.

 Di tempat baru ini, ada piano yang terletak di aula rumah sakit. Saya cuma diizinkan berlatih satu jam saja pada jam 1 s/d 2 siang. Pada waktu jam tidur siang. Alasannya harus belajar Fikiran Mao Tjetung, belajar filsafat dan politik. Meskipun tidak saya sukai pelajaran ini. Tapi terpaksa nurut saja, tidak punya kekuatan apa2 untuk menolaknya. Tapi lama kelamaan, pelajarannya menarik juga, kayak baca buku silat yang menjadi kegemaran saya sejak kecil. Kayak membaca Roman Tiga Kerajaan dan 108 Pendekar Bukit Liang San. saja. Ya memang betul, Mao Tjetung tidak pernah sekolah politik, tidak pernah sekolah militer. Cuma membaca cerita sejarah Tiongkok kuno, baca cerita silat Tiongkok kuno, tetapi akhirnya bisa menjadi ahli politik dan militer nomer satu di Tiongkok, melalui praktek peperangan belajar ilmu kemiliteran. Hobby membacanya sama dengan saya, maka karya Mao Tjetung dari jilid 1 s/d 4, menjadi bacaan yang menarik, kayak baca buku silat saja. Isinya memang mengenai pengalaman Mao dalam peperangan dalam negeri ke 1 (1927-1936), Perang anti Jepang (1937-1945) dan Perang dalam negeri ke-2 (1946-1949). Bagimana Mao Tjetung menggunakan teori perang Sun Tzu, membentuk tentara Rakyat yang dari kecil menjadi besar, dari lemah menjadi kuat. Dan akhirnya mengalahkan musuhnya yang lebih kuat.

 Hari Minggu, kadang2 saya minta izin anjang sono ke rumah kakak misan saya di kota Peking, saya diantar dengan mobil, ditemani oleh Xiao Yang, interpreter bahasa Indonesia, dan kadang2 oleh perajurit yang menjadi bagian security penjaga keamanan tamu. Seharian penuh saya main, ngobrol dan makan di Hua Chiao Kung Yi, kompleks perumahan Hoakiao yang agak luks buat ukuran orang Tiongkok ketika itu. Calon mertua kakak misan saya adalah seorang dokter yang buka praktek di Tanah Abang Jakarta, pada tahun 1958 sekeluarga (dengan 9 putera puterinya) pindah ke RRT, dan diberi flat apartmen besar di situ, sedangkan rumahnya di Tanah Abang yang besar diberikan kepada Konsulat RRT untuk asrama stafnya.

 Ngobrol punya ngobrol, baru saya ketahui tunangan abang saya punya 2 akordeon Hohner buatan Jerman, yang jarang dipakai lagi, ketika saya pinjam, tanpa pikir lagi, salah satu akordeonnya diberikan kepada saya, juga buku2 piano yang dibawa dari Jakarta, karena tunangan abang saya pernah les piano kepada Szabo di Jakarta, sampai grade 6. Saya pinjam dan pergunakan sampai 12 tahun lamanya, baru dikembalikan menjelang pindah ke Hongkong pada awal 1978, dimana dengan uang tabungan, saya, berhasil membeli akordeon baru buatan RRT.

 Setiap waktu senggang saya berlatih akordeon tanpa guru, karena bakat musik terpendam yang saya miliki, dalam waktu singkat, saya sudah mahir memainkan lagu2 populer di RRT dan lagu2 Indonesia dengan akordeon itu. Dan siap mengajarkan orang yang mau belajar akordeon. Cuma latihan piano tetap dibatasi satu jam saja per hari.

 Ketika sedang enak2nya bermimpi masuk ke Konservatorium Musik, tiba2 meletus Revolusi Besar Kebudayaan Proletar atau RBKP. yang telah menutup seluruh sekolah menengah dan perguruan tinggi di seluruh Tiongkok. Sampai 4 tahun lamanya sekolah2 itu ditutup. Maka buyarlah semua impian muluk2 dari saya.

 Tapi semua itu tidak mematahkan semangat saya untuk latihan piano dan akordeon, memang saya suka sekali dengan alat musik itu, bisa buat menghibur diri sendiri, juga menghibur teman2 seasrama..

 Seluruh Tiongkok sedang dilanda RBKP, yang hakekatnya merupakan Perang Saudara antara golongan kiri melawan golongan kanan dalam tubuh Partai Komunis Tiongkok. Sebab, RRT menganut satu Partai tunggal, menganut diktatur Partai Komunis, jadi perbedaan pendapat dalam masyarakat, yang biasanya di negara2 penganut dwi Partai atau multi Partai, terjadi antara Partai2 Kiri dengan Partai Kanan, yang seringkali meletus jadi perang saudara, Sedangkan dii RRT, meletus didalam tubuh PKT itu sendiri, antara faksi Mao Tjetung yang minoritas melawan faksi Liu Shao Chi yang mayoritas. Semua ini baru saya ketahui setelah RBKP selesai pada 1976.

 Ketika itu kami semua sebagai tamu asing yang tidak mengikuti perkembangan politik Tiongkok masih bingung dan tak tahu apa yang terjadi di RRT ketika itu. Tidak habis mengerti mengapa harus menutup semua sekolah, para pelajarnya disuruh berdemo, menulis surat plakat berhuruf besar (Ta Ce Pao), disuruh merebut kekuasaan. Partai dan Pemerintah, disuruh menangkap para pejabat tinggi dan menengah pemerintah dan Partai, termasuk Presiden Liu Shao Chi, orang kuat nomer 2 di Tiongkok, menangkap Deng Xiaoping, orang kuat nomer 7 di Tiongkok. Yang dalam tempo satu malam, menerima tuduhan sebagai penguasa penempuh jalan kapitalis nomer satu dan nomer dua. Para mahasiswa yang membentuk organisasi massa baru dengan nama Garda Merah, dan para pelajar yang membentuk ormas Perajurit Merah Cilik, setiap hari menyeret pejabat2 yang ditangkap secara liar (diluar jalur hukum) ke atas panggung pengganyangan. Juga isteri Presiden Liu Shao Chi juga diseret dan dipermalukan di muka umum. Para pemuda pelajar ini taat 100% kepada Mao Tjetung dan pembantu2 setianya, Lin Piao, Chou En Lai, Kang Seng, Chen Po Ta, Chiang Ching dan lain2nya. Semua ini dengan berani mereka lakukan, karena decking kuat dari golongan kiri yang bersatu dengan sebagian golongan moderat (Chou En Lai dan teman2nya), dan dapat dukungan dari tentara yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Lin Piao , dan kepolisian yang dipimpin oleh pengikut Mao Tjetung. Pendek kata Ketua Partai, Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Kepolisian semuanya berada dibelakang para pemuda pelajar yang mengamuk di seluruh Tiongkok.

 Golongan kanan dalam Partai dan Pemerintah ditangkap dan diganyang, hakekatnya terjadi perebutan kekuasaan, atau kup istana di Tiongkok ketika itu. Dengan dalih pembersihan barisan klas, membersihkan Partai dan pemerintah dari anasir2 klas burjuasi yang masuk ke dalam Partai. Yang dipecat dan diganyang adalah para pahlawan2 yang menjadi sekutu Mao ketika Perang dalam negeri dan perang anti Jepang. Kami tidak diperkenankan melihat dari dekat semua kejadian2 itu, Cuma tahu dari surat kabar dan majalah resmi yang sudah dikuasai oleh golongan kiri. Sebaliknya kamipun bebas dari pengganyangan, karena status kami sebagai tamu yang serba istimewa itu. Saya tetap berlatih piano dan akordeon dua jam perhari. Saya yakin pasti tiba saatnya, RBKP akan berakhir, dan saya bisa masuk ke Konservatorium, sesuai dengan janji yang diberikan oleh Hu Chi Li. Saya tidak tahu bahwa seluruh pimpinan utama GPST(Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok) telah ditangkap dan diganyang, karena menjadi sarang kekuasaan golongan Liu dan Teng, semuanya dijebloskan ke dalam “kandang sapi”. Istilah populer ketika RBKP buat kader2 yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam rumah tanahan khusus.

 Yang lucu, di Indonesiapun sedang berlangsung penangkapan dan pembunuhan besar2an terhadap yang disebut golongan kiri. Di RRT ketika itu berlangsung penangkapan dan pembunuhan besar2an terhadap yang disebut golongan kanan. Semua dengan tuduhan macam2 yang direkayasa oleh penguasa negara masing2.

 Nasib saya masih lebih baik, ketimbang bekas pianis PPI yang belakangan masuk WN RRT, sekolah di konservatorium Tien Tsin, setelah lulus malah disuruh cuci otak di pabrik. Meskipun tidak dapat berlatih 8 jam lagi seperti di Canton, 2 jam sudah beruntung ketimbang tidak ada samasekali.

Bersambung ke seri – 4: TIDAK BOLEH PACARAN DENGAN GADIS TIONGKOK

TOP

本帖最後由 rainbow 於 2014-5-7 23:34 編輯
Seri ke 4
TIDAK BOLEH PACARAN DENGAN GADIS TIONGKOK
Oleh Thio Keng Bouw

 Sejak masih tinggal di Canton (1965), saya sudah mulai lakukan korespondensi dengan Li Lian, gadis Bandung yang ketika itu bersekolah di SMA Ji Mei, Amoy.

 Ia duduk di kelas III SMA. 4 orang kakak misannya sudah kuliah di Universitas Hoa Qiao di Chuan Zhou. Mereka semuanya berasal dari Majenang, Jateng. Ibunya masih tinggal di Bandung, bersama dua adik laki2nya yang masih duduk di bangku SD dan SMP.

 Hubungan saya dengan keluarga Lilian di Bandung sangat akrab, sudah seperti keluarga sendiri saja. Saya menjadi guru les privat di rumah Li Lian di Gang Muncang Bandung, antara 1962 s/d1965. Ibunya menitipkan 15 baju tetoron untuk Li Lian dan 4 kakak misannya.

 Saya menceritakan keadaan saya, sebagai tamu Negara yang terpaksa minta suaka politik, karena jalan untuk pulang ke Indonesia untuk sementara terhalang. Iapun menceritakan keadaannya, tentang gerakan belajar Fikiran Mao Tjetung, yang sedang ngetop di seluruh Tiongkok

 Ketika Revolusi Kebudayaan Proletar mulai meletus, hubungan surat menyurat tetap berlangsung terus tanpa gangguan apa2.

 Pada awal 1967, Lilian dan teman2 sekolahnya naik kereta api gratis ke Bei Jing, ikut serta dalam Rapat Raksasa di Lapangan Tian An Men, dimana Mao Tjetung sendiri menerima para pemuda pelajar, yang sambil mengibarkan buku kecil merah Kutipan Kata2 Ketua Mao, ber-teriak2 kegirangan karena bisa diterima oleh Pemimpin Besar Revolusi yang mereka cintai itu. Lilian tidur di sekolah, karena sekolah2 di seluruh Tiongkok ketika itu ditutup, memberi kesempatan agar para siswanya ikut dalam RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar).

 Lilian girang sekali bisa ke Bei Jing, berarti bisa jumpa dengan saya. Maka pergilah dia ke alamat korespondesi saya. Alangkah kecewanya ia mendapat jawaban, bahwa saya tidak tinggal di situ. Tempat itu cuma sebuah kantor bukan rumah kediaman.

 “Dimana gerangan Keng Bouw tinggal, kami berdua sudah belasan kali surat menyurat, semuanya menggunakan alamat ini.”

 “Maaf saya cuma piket yang menjaga kantor saja, saya sendiri tak kenal siapa Keng Bouw, apalagi alamat rumahnya”.

 Memang benar keterangan piket penjaga kantor tersebut, sebab semua orang yang saya kenal, seperti Hu Chi Li, Xiao Yang dan lain2 sudah di kirim ke pedesaan untuk macul, tugas piket cuma mengatur hubungan surat menyuirat antara saya dengan Li Lian, tapi dia sendiri tidak kenal siapa saya dan siapa Li Lian. Surat itu disampaikan kepada Departemen Luar Negeri RRT. Saya sendiri sejak pertengahan 1966 sudah tidak tinggal di Bei Jing lagi, oleh Deplu Tiongkok dipindahkan ke Nanking, dimana saya bermukim selama 4 tahun lamanya.

 Lilian masih penasaran, malam itu juga ia menulis sepucuk surat kepadaku, mengharapkan seterima surat ini, saya segera pergi ke sekolah tempat ia mondok. Ia cuma kira2 sebulan di Bei Jing, setelah itu akan kembali ke Amoy.

 Sebulan kemudian, surat itu baru tiba di Nan King , dan Amoy adalah daerah perbatasan, semua orang asing dilarang pergi ke sana. . . . . . . . .

 Setelah kejadian ini, hubungan surat menyurat masih terus dilangsungkan. Setelah saya menerima surat yang ke-49 dari Li Lian, saya mengajukan permintaan untuk pergi ke Amoy, atau ke mana saja, agar bisa jumpa dengan Li Lian. Sebulan kemudian, saya menerima surat yang ke-50 dari Li Lian, isinya bagaikan halilintar di siang hari bolong, antara lain ia menulis:

 “Ko Keng Bouw yang tercinta, hubungan kita tak bisa dilanjutkan lagi, saya baru saja didatangi oleh penguasa militer setempat, saya diberitahu agar memutuskan hubungan surat menyurat dengan ko Keng Bouw, alasannya saya warganegara Tiongkok, ko Keng Bouw warganegara Indonesia, dan tamu Negara pula. Ini surat terakhir yang saya tulis, ko Keng Bouw tak usah balas surat ini.”

 Setelah membaca surat ini, sayapun diberitahu agar tidak membalas surat ini, hubungan saya dengan Lilian diakhiri sampai di sini saja.

 Saya merasa geregetan juga, kalau memangnya tidak boleh pacaran dengan Li Lian, kenapa sampai 2 tahun setengah baru diberitahu, setelah hubungan kami sudah begitu mesra? Padahal semua isi surat menyurat itu selalu disensor dan dibuka oleh fihak Tuan Rumah Tiongkok.

 Tapi, saya harus menerima nasib, nasib sebagai tamu Negara yang tak ada kebebasan untuk memilih tempat tinggal, tidak ada kebebasan untuk pergi menjumpai pacar sendiri, dan terakhir malah harus memutuskan hubungan dengannya.

 9 Tahun 9 bulan kemudian, 3 hari sebelum saya pindah ke Hong Kong, saya diberitahu bahwa peraturan tidak boleh pacaran dengan gadis Tiongkok telah dicabut. Saya ditawarkan untuk pergi ke Amoy, mencari Li Lian kembali.

 Saya ucapkan terima kasih atas tawaran ini. Tapi saya menolak untuk ke Amoy, saya bilang, setelah Li Lian dilarang berhubungan dengan saya, tidak mungkin ia terus menunggu kedatangan saya, usianya kini sudah 31 tahun, kemungkinan besar ia sudah menikah dengan orang lain.

 Setibanya di Hong Kong, Januari 1978, saya segera menulis surat kepada ibunya di Jalan Pasir Kaliki Bandung, dua minggu kemudian mendapat surat balasan, bahwa 5 tahun yang lampau Li Lian sudah menikah dengan seorang pemuda asal Palembang di Hongkong dan sudah mempunyai seorang anak laki2 berusia 3 tahun, tahu2 rumah kediamannya cuma berjarak 500 meter dari rumahku .Saya segera pergi ke rumahnya, diperkenalkan dengan suaminya, dengan puteranya, dengan 4 kakak misannya yang semuanya sudah pindah ke Hong Kong. Ibunya pada 5 tahun yang lalu pergi ke Tiongkok, mengajak mereka berlima pindah ke Hong Kong, karena tidak kerasan tinggal di RRT. Belakangan saya baru ketahui bahwa yang tidak kerasan tinggal di RRT berjumlah jutaan, diantaranya ada ratusan ribu perantau Tionghoa kelahiran Indonesia.

 Suatu hari saya diberitahu, bahwa pada 8 Maret 1973, dalam jamuan makan negara untuk memperingati Hari Wanita Internasional, Chou En Lai telah menyatakan, tidak ada larangan untuk orang asing menikah dengan gadis Tiongkok. Pada waktu yang bersamaan Li Lian telah melangsungkan pernikahannya di Hong Kong. . . . . . . . .

Bersambung ke seri ke-5 : JADI GURU PIANO DAN AKORDEON..

TOP

Seri ke – 5
JADI GURU AKORDEON DAN PIANO
Oleh Thio Keng Bouw

 Cita2 untuk masuk ke konservatorium Peking (Bei Jing) telah gagal, RBKP atau Revolusi Kebudayaan telah menutup semua sekolah di seluruh Tiongkok, rasanya belum pernah terjadi dalam sejarah dunia, sebuah pemerintah telah menutup sekolahnya sendiri sampai 4 tahun lamanya. Ini adalah suatu ciptaan yang tak ada taranya di dunia.

 Namun, saya masih harus menyatakan beruntung, sebagai tamu negara. saya tidak usah ikut dalam RBKP, memperoleh kebebasan sepenuhnya untuk mengatur apa yang saya mau kerjakan, kebebasan ini saya manfaatkan untuk belajar sendiri akordeon, yang saya pinjam dari kakak misan saya di Peking. saya juga belajar sendiri piano, yang oleh tuan rumah disediakan untuk tamunya. Buku2 piano, sebagian saya beli sendiri ketika masih di Canton, sebelum RBKP meletus, sebagian lagi saya pinjam dari kakak misan saya di Peking, yang pernah belajar piano sampai Grade 6 di Indonesia. Di Peking ia baru saja lulus fakultas sastra Tionghoa. Setiap hari saya giat berlatih, sebab masih ada harapan, se-waktu2 konservatorium dibuka kembali, dan saya bisa belajar di situ. Untuk merealisasi cita2 saya jadi guru piano kelak.

 Tunggu punya tunggu, sekolah2 belum dibuka juga, RBKP masih berlangsung dengan sengit, saya cuma bisa mengikutinya dari surat kabar Ren Min Ri Bao (Harian Rakyat) dan majalah Hong Qi (Bendera Merah), organ resmi Partai Komunis Tiongkok.

 Pada suatu hari saya ditanya oleh ibu Wati, istri pak Sobron Aidit. “Keng Bouw, kamu dulu kan pernah jadi guru bahasa Indonesia dan menyanyi di Bandung, bersediakah kamu untuk menjadi guru lagi, mengajar di sekolah Indonesia yang akan kami buka untuk kanak2 di kampung Indonesia ini? Mereka sangat membutuhkan tenagamu, seorang guru anak2 yang berpengalaman, juga mahir main piano dan akordeon, alangkah baiknya, disamping mengajar Bahasa Indonesia dan menyanyi, sekaligus memberikan juga pelajaran akordeon dan piano kepada anak2 itu.”

 Tanpa pikir panjang2 lagi, tawaran ini saya terima dengan senang hati, sebab ini adalah sebuah pekerjaan yang mulia, membantu kebutuhan kongkrit dari anak2 Indonesia, yang ikut orangtuanya jadi tamu negara, dimana tak ada sekolah Indonesia yg normal, terpaksa harus bergotong-royong untuk membuka sendiri sekolah Indonesia dengan tenaga guru yang se-ada2nya di kampung ini. Pak Sobron yang berpengalaman mengajar Bahasa Indonesia di Jakarta dan Peking, adalah guru utama di sekolah ini, saya menjadi guru pembantunya, tugas utama saya adalah guru akordeon, piano dan menyanyi, yang merupakan kelebihan saya di kampung Indonesia ini

 Belum sempat masuk ke konservatorium musik, sudah terpaksa jadi guru akordeon dan piano. Apa boleh buat, apa yang pernah saya pelajari dulu dari Meneer Becalel, salah seorang guru piano yang top di Bandung, semuanya saya warisi kepada murid2 saya ini. Di samping itu, saya ajari juga, sesuatu yang dilarang oleh Meneer Becalel.

 Apakah yang dilarang oleh Becalel itu?

 Ketika saya belajar piano kepada Becalel, ia melarang murid2nya belajar alat musik lain. Seperti akordeon, kecapi suling, gamelan, rebab dan lain2. Karena bisa merusak keprigelan jari2 di atas tuts piano katanya. Tapi sejak di Bandung, saya dan teman2 PPI yang belajar kepadanya, diam2 melanggar peraturan yg ortodox dan akademikus ini, diam2 belajar akordeon, kecapi, gamelan.untuk kebutuhan Rombongan Kesenian PPI yang aktif mengadakan pementasan di mana2 ketika itu. Disamping itu, ia juga melarang murid2nya tanpa izinnya, main lagu2 yang diluar pelajaran piano klasik yang diberikan. Wah, inilah yang paling saya langgar, karena pekerjaan saya sebagai guru menyanyi, justeru membutuhkan saya mempelajari lagu2 yang 99% bukan lagu Mozart, Beethoven, Chopin dll.

 Nah di sekolah Indonesia ini, pertama2 saya memberikan pelajaran dasar piano klasik, sebagaimana saya dulu belajar kepada Becalel. Setelah mereka bisa mainkan lagu2 klasik yang sederhana untuk anak2, saya susun sendiri lagu2 kanak2 Indonesia, lagu2 ciptaan ibu Sud dan pak Kasur, juga lagu kanak2 yang saya ciptakan sendiri di Indonesia dan di Tiongkok, kemudian saya ajarilah mereka lagu2 tersebut. Wah alangkah senangnya mereka, karena bisa mainkan lagu2 yang selama ini saya ajarkan dalam pelajaran menyanyi. Seperti Kring Kring Kring Ada Sepeda, Tanam Jagung, Naik Kereta Api, Tukang Beca, Supir Mobil, Ke Sekolah, Naik Gunung, Bersihkan Ruang Kelas, Tanam Bunga, Mari Berolahraga, Mari Bersenam , juga lagu2 daerah/nasional seperti Sarinande, Ina Ni Keke, Ayo Mama, Burung Kakatua, Naik Naik Ke Puncak Gunung, Desaku, Indonesia Pusaka, Bagimu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, Dari Sabang Sampai Merauke, Maju Tak Gentar, Berkibarlah Benderaku, Hallo2 Bandung, Rayuan Pulau Kelapa, Tanah Air, Garuda Pancasila, serta lagu2 Indonesia yang saya ciptakan di luarnegeri seperti Di Sungai Mutiara, Berlayar Di Samudera, Senandung Persahabatan, Rindu dll….. Tentu tidak ketinggalan lagu2 Tiongkok yang populer, yang mereka pelajari di sekolah Tionghoa.

 Ya, anak2 Indonesia ini, sekolah satu hari penuh. Pagi sekolah Tionghoa dan sore hari Sekolah Indonesia.

 Mengenai akordeon, saya belajar sendiri tanpa guru, tapi saya mampu dengan lancar mainkan banyak lagu2 klasik Barat, lagu Indonesia dan lagu Tiongkok dengan akordeon ini. Kepandaian saya ini tanpa disembunyikan sedikitpun, saya warisi kepada anak2 Indonesia yang saya cintai itu. Mereka semuanya lucu2 dan hormat kepada saya. Hati sayapun senang sekali, mempunyai murid2 yang rajin berlatih musik, yang akhirnya menjadi salah satu acara menarik pada Malam Gembira yang sering kita adakan di kampung ini. Salah seorang murid saya yg terpandai, Mina putri Bung Tejo, disamping mahir main piano, juga bisa bernyanyi sambil ia iringi sendiri dengan akordeonnya. Cerita sampai di sini, terbayanglah wajah2 lucu dari murid2ku tersebut, Nita, Wita, Nyala, Budi, Yasmin, Piping, Iban, Fanti, Ida, Karlina, Tini, Latifa, Tice, Tiwi, Ami, Nining, Tifa, Liming, Agung, Adi, Reni, Jaya Yanti, Yanto, Ningsih, dll

 Dalam memberikan pelajaran piano ini, saya mendapat bantuan dari Sui Lan, mahasiswi jurusan kedokteran 1963-1966 di Peking, belum lulus jadi dokter, sekolahnya sudah ditutup oleh RBPK.

 Sui Lan pernah belajar piano sampai Grade 7 di Jakarta, tarafnya berimbang dengan saya, ketika itu ia masih mendalami fak kedokterannya, kadang2 membantu murid2 piano saya yang ingin belajar lagu klasik yang merdu melodinya, seperti Fur Elise, Maiden Prayer dll.

 Sui Lan juga mahir main akordeon, selalu tampil dalam band kampungan yang akan saya ceritakan dalam seri yad.

 Akhirnya cita2 saya menjadi guru piano bisa terwujud. Meskipun saya belum ada ijazah dari konservatorium, namun situasi kongkrit memaksa saya harus pikul tugas ini, demi anak2 kita yang haus akan pelajaran musik, demi memperkaya penghidupan budaya di kampung Indonesia ketika itu. Sayapun harus berterimakasih banyak kepada para orangtua yang mempercayakan saya memberi les piano, pengalaman berharga inilah yang akhirnya saya gunakan untuk mengajar piano di Hong Kong sampai detik ini.

 Kenang2an indah yang tak terlupakan seumur hidup…….Apakah murid2ku yang kini bertebaran di empat penjuru dunia itu, masih teringat kepada mantan gurunya? Saya percaya mereka semuanya masih ingat, apalagi buat mereka yang pernah menjadi fans lakon 108 Pendekar Telaga Liang San, dimana setiap minggu berkerumun disekeling saya, mendengarkan saya menterjemahkan langsung dari buku yang berbahasa Tiongkok kuno.

Bersambung ke seri-6 : PADUAN SUARA, TARI2AN, BAND DAN SASTRA/DRAMA

TOP

Seri ke 6
PADUAN SUARA, TARI2AN, BAND DAN SASTRA/DRAMA
Oleh Thio Keng Bouw

 Dengan keputusan aklamasi, saya terpilih sebagai Ketua KEBORA atau Kebudayaan dan Olahraga. Tugas dari Kebora, adalah mengorganisasi kehidupan kebudayaan dan olahraga di kampung Indonesia. Ini terjadi pada bulan Agustus 1970 di Tjiang Si, RRT.

 Dalam rapat Kebora yang pertama, telah dipilih sebagai ketua seksi paduan suara :Agus , ketua seksi tari2an :Ningsih , ketua seksi band musik:Gatut , ketua seksi sastera dan drama.: Afif. ketua seksi olahraga: Maori Seksi paduan suara, adalah yang paling banyak pesertanya, hampir 100 yang dibagi dalam 4 suara, sopran, alto, tenor dan bass. Agus sebagai dirigen, Sui Lan main akordeon dan saya main piano.

 Partitur musik SATB (sopran, alto, tenor dan bass) untuk paduan suara, saya sendiri yang gubah. Pengalaman saya dalam paduan suara PPI Bandung, memperoleh kesempatan untuk dikembangkan. Mula2 semua peserta paduan suara dikumpulkan, satu persatu dites suaranya untuk ditetapkan apakah ia termasuk sopran, alto, tenor atau bass. Semuanya bersemangat dan bergairah sekali, apalagi setelah mengetahui jenis suara yang dimiliki adalah sopran atau tenor. Lagu2 yang kami pilih terdiri dari banyak jenis, ada lagu2 patriotik, seperti lagu Maju Tak Gentar, Di Timur Matahari, Dari Sabang Sampai Merauke, Hallo2 Bandung, dll,

 Ada lagu2 yang melukiskan keindahan alam dan cinta tanah air, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Suburlah Tanah Airku, Indonesia Pusaka, dll,

 Ada lagu2 persahabatan RI-RRT seperti di Sungai Mutiara, Senandung Persahabatan ada lagu2yang mengobarkan semangat perjuangan, seperti Bangun, Berlayar, Darah Rakyat. Bendera Merah dll,

 Ada lagu2 daerah seperti Lenggang Kangkung, Mariam Tomong, Sarinande,O Ina Keke, Aek Sarulah, Lisoi, Pileuleuyan, Suwe Ora Jamu, Es Lilin,Kampuang Nan Jauh Di Mato, Yamko Rambe Yamko, Tudung Periuk,Saule, Kole2, Ole Sioh Ayo Mama, Paku Gelang, Gundul Pacul, dlsb Juga beberapa lagu2 Tiongkok yang sedang ngetop ketika itu, seperti Hidup Ketua Mao, Berbulat Tekad, dll Latihannya setiap Minggu satu kali 2 jam, Setiap ada Malam Gembira atau Malam Kesenian, acara paduan suara selalu mengisi acara pertama atau pembukaan.

 Setiap Malam Kesenian atau Malam Gembira, selalu dihadiri lengkap oleh para staf pekerja dari Tuan Rumah, termasuk para interpreter, pegawai dapur, bagian security dan bagian listerik, ledeng, pegawai toko kebutuhan se-hari2, para guru sekolah Taman Kanak2 dan Sekolah Dasar dll.

 Jadi praktis merupakan Malam gembira/kesenian bersama, antara orang Indonesia dengan orang Tiongkok.

 Seksi tari2an juga aktif melatih tari2an Indonesia yang pernah mereka tarikan dulu di Indonesia, seperti tari Payung, tari Tandek Majeng, tari Genjer2, dll. Buat saya, lagu tari2an ini sudah tak asing lagi, karena sudah sering mengiringinya dalam puluhan pementasan di Indonesia pada tahun 1957-1965.

 Tari2an ini diiringi sendiri oleh band musik yang dipimpin oleh Gatut, anggota2nya terdiri dari saya sendiri (piano), Sui Lan (akordeom), Tatang (suling), Gatut (gitar pengiring), Hananto (gitar bass). Seksi musik ini, disamping sebagai pengiring, juga berfungsi mengumandangkan lagu2 gembira untuk menciptakan suasana pertemuan2 periodik kampung Indonesia kita itu.

 Seksi sastera/drama, yang masih saya ingat adalah pementasan drama gubahan Kusni Sulang, judulnya kalau enggak salah adalah , kemudian Malam Sarasehan Sastera dan Deklamasi. , Saya bertugas memberikan iringan musik piano, ketika para deklamator kita beraksi di atas pentas. Pendek kata,dalam semua kegiatan seksi, tidak ketinggalan peranan piano saya. Mungkin inilah sebabnya saya terpilih sebagai ketua Kebora, disamping memang pengalaman saya yang kaya dalam memimpin rombongan kesenian PPI Jakarta dan Bandung pada 1957 s/d 1965 , yang sudah ratusan kali naik pentas di panggung2 kesenian di Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Sumsel dan Sumut.

 Pendek kata, kehidupan seni budaya di kampung Indonesia memainkan peranan penting dalam menciptakan suasana persatuan, optimisme, kegembiraan belajar dan bekerja, dan persahabatan. Saya percaya, pak Sobron, pakKusni Sulang, pak Umar Said, pak Ibrahim Isa dan lain2 tentu takkan lupa kenang2an indah ini, apalagi puteri2 pak Sobron dan Pak Isa adalah murid2piano/akordeon saya. ketika itu.

 Seksi Olahraga, tidak kurang peranannya dalam memperkaya penghidupan di kampung. Acara yang paling digemari adalah main bola volley, hampir setiap sore latihannya, juga bulutangkis, tenis meja, dan sepak bola banyak penggemarnya, saya termasuk yang paling sering absent dalam kegiatan olahraga ini, karena kesibukan dalam seksi kesenian, dan seksi pendidikan kanak2 kita. Disamping itu, saya selalu menggunakan setiap waktu yang senggang , untuk latihan piano sendiri, karena cita2 saya sebagai guru piano professional tidak pernah padam sedikitpun. Saya sendiri sudah lupa, siapa2 yang menjadi ketua subseksi Volley, tennis meja. bulutangkis sepakbola dan lain2nya. Hanya teringat kepada Gustaf dan Maori, Tulus, Surya, Sentot, Arya, Suta, Saleh,Bowo, Bambang, yang paling sering saya tampak di gelanggang olahraga, dan tak terlupakan wajah2 olahragawan yang bertubuh kekar, sehat dan lincah.

 Surya ketika istirahat sejenak main volley, sering masuk ke kantin yg berdampingan dengan lapangan volley, minta saya mainkan lagu Lambaian Bunga, dan dengan lantang ia mendendangkan lagu tersebut, lagu rindu kampung halaman, yang membikin kita meneteskan air mata tanpa terasa. …..

 Atas dorongan Surya, saya menciptakan lagu RINDU, yang melukiskan kerinduan kita. semua kepada tanahair tercinta: isi kata2nya yang saya tulis sendiri dan disempurnakan oleh pak Sobron adalah sbb:

 Indonesia tanah tercinta, indah permai dan kaya raya Ribuan pulau, sungai dan telaga, terbentang di tengah khatulistiwa Jauh aku terpisah darimu, terpendam dalam cinta dan rindu, Walau terhalang lautan membiru, sekali pasti kita ‘kan bertemu.

 Lagu RINDU ini masih sering saya nyanyikan di Tiongkok ketika itu dengan bait2 puisi yang sederhana, ringkas dan padat, tercermin perasaan hati orang klayaban yang penuh dengan keyakinan, pada suatu hari pasti akan menginjak kembali bumi tumpah darahnya, tanah kelahirannya dan tanahairnya yang tercinta.

 Di kampung Indonesia ini, saya banyak menciptakan lagu2 Indonesia yang juga menjadi kebutuhan nyata dari orang2 Indonesia di situ, yang paling berhasil adalah Di Sungai Mutiara, Senandung Persahabatan dan Rindu. Juga saya banyak menciptakan lagu kanak2 seperti Ke Sekolah, Tanam Bunga, Mentari Bersinar, Naik Gunung, Membersihkan Ruang Kelas, Mari Bersenam, Aku Supir Mobil; (lagu yang khusus saya ciptakan untuk Liming yg kini bermukim di Maastricht, karena ketika kecil ia pernah bercita-cita sebagai supir mobil kelak). dll. Lagu2 ini, ada yang kata2nya saya gubah sendiri, juga ada yang digubah oleh Sobron Aidit suami isteri, dan oleh mendiang Afif yang baru2 ini meninggal dunia Lagu saya ciptakan di atas kapal pesiar ketika bertamasya di Sungai Mutiara Guang Zhou, saya disodori puisi oleh Surono, yang dalam waktu 1 jam berhasil saya gubah lagunya. Isinya adalah sebagai berikut:

 Di Sungai Mutiara berlayar kapal persahabatan Laju sarat memuat rasa setiakawan rakyat Indonesia- Tiongkok

 Walau ombak melanda datang Kapal persahabatan maju menerjang Kekal abadilah setiakawan Rakyat Indonesia Tiongkok.

 Saya masih ingat kepada Eman, ayahnya Liming berkata:” Bouw, dari begitu banyak lagu yang kau ciptakan, yang saya paling suka dan paling merdu serta kuat, adalah lagu Di Sungai Mutiara.” Di kampung Indonesia, pada tahun 1973 s/d 1977 selalu berkumandang lagu2 ini dalam pertemuan2 dan malam kesenian.

 Ya, lagu ini bersifat abadi, pencerminan persahabatan dan setia kawan dua bangsa Indonesia dan Tiongkok. Yang sudah berusia ratusan tahun lamanya, dan masih akan tumbuh dengan subur dan perkasa selama ribuan tahun mendatang.

 Kata2 Walau ombak melanda datang, kapal persahabatan maju menerjang, dengan singkat dan padat, melukiskan kenyataan hidup bahwasanya persahabatan dua bangsa ini seringkali menemui gangguan dari oknum2 perusak persahabatan.. namun semua gangguan itu berhasil dipatahkan oleh kuatnya persahabatan dua bangsa dan dua negara Indonesia Tiongkok., yang digembleng melalui perjuangan bersama melawan kolonialisme Barat dalam waktu yang panjang, Sebagai negara yang sedang berkembang, persahabatan ini harus terus menerus dikonsolidasi, demi perjuangan bersama melawan kemiskinan dan pengangguran di negara masing2.

 Setelah saya pindah ke Hongkong, sebagian besar tulang punggung bagian Kebora juga sudah pindah ke Eropa. Kegiatan Kebora ini konon kabarnya berhenti sama sekali, semuanya tinggal menjadi kenang2an indah belaka……….

 TAMBAHAN:

 Di Hong Kong, pada ultah ke-57 RI, dalam malam kesenian yang dihadiri oleh3000 penonton di gedung olahraga Queen Elizabeth, saya dan ibu Ida dari KJRI Hongkong, melantangkan lagu Di Sungai Mutiara, namun dengan sedikit perubahan isi kata2nya, yang terbaru adalah sebagai berikut: Jauh diseberang lautan, berlayar kapal persahabatan Laju sarat memuat , rasa setiakawan bangsa Indonesia – Tionghoa Walau badai melanda datang, kapal persahabatan maju menerjang Kekal abadilah, setiakawan dan persahabatan dua bangsa kita Judul lagunya juga diganti menjadi Kapal Persahabatan

 3000 penonton bertepuk tangan riuh rendah, pak Konjennya serta merta naik ke ataspentas, menyalami kami berdua, kemudian menyerahkan karangan bunga serta memberi komentar, “bagus, bagus sekali, baik isi maupun melodinya..!”

 Memang, sejak tahun 1987, ketika pak Rustandi menjabat Konjen KJRI Hongkong, saya sudah sering diundang oleh KJRI untuk main piano, menghibur Malam Santai, Malam Gembira di KJRI Hong Kong. baik memberikan piano performance dengan lagu2 Indonesia, maupun mengiringi bapak2 staf KJRI menyanyi. Putera dan puteri Pak Anton Sujata (Konsul Kejaksaan) juga belajar piano dan electronic organ kepada saya.

Bersambung ke seri-7 : SEKOLAH TUJUH MEI ATAU STM (1970 - 1977)

TOP

Seri ke – 7
SEKOLAH TUJUH MEI ATAU STM (1970 - 1977)
Oleh Thio Keng Bouw

 Sebagai tamu Negara, kami diberi kebebasan untuk mengerjakan apa saja yang disukai, seperti mengadakan kegiatan Kebudayaan dan Olahraga.yang sudah saya ceritakan dalam seri ke-6 yang lalu.

 Pada waktu RBKP berkecamuk di RRT, sangat populer dengan didirikannya Sekolah Tujuh Mei oleh pemerintah. STM (Sekolah Tujuh Mei) bertujuan untuk menggembleng rohani dan jasmani para kader Tiongkok, melalui kerja badan di pedesaan, belajar kepada tani miskin, bagaimana mengelola pertanian, perkebunan dan peternakan. Hu Yao Bang, Hu Chi Li, Wang Zhao Hua, Hu Ke Se dll yang menjadi tuan rumah saya, begitupula Xiao Yang yang menjadi interpreter saya juga ramai2 masuk ke STM ini. Mengapa dinamakan Sekolah Tujuh Mei, karena semuanya berdasarkan instruksi Mao Tjetung tertanggal 7 Mei tahun (?).

 Ketika hubungan Tiongkok dan Uni Sovyet memburuk, sampai terjadi insiden ber- senjata dan berdarah di tapal batas di daerah Timur Laut, pada tahun 1969. Sebagian besar orang asing diungsikan ke daerah pedaleman yang relatif aman, karena Peking tidak cukup menyediakan lubang perlindungan, jika sampai terjadi peperangan yang dahsyat.

 Awal 1970, ketika ada tawaran untuk pergi ke STM, di kalangan orang Indonesia terdapat dua pendapat, pro dan kontra. Yang pro, termasuk saya, timbul dari rasa ingin tahu apa itu STM, juga karena belum ada bayangan bagaimana caranya meninggalkan Tiongkok untuk merintis jalan pulang ke Indonesia, apa salahnya kita menggembleng diri melalui kerja badan di STM?. Yang kontra berpendapat, tidak usah ikut2an apa yang dilakukan oleh Tiongkok, yang penting segera meninggalkan Tiongkok, untuk mencari jalan pulang ke Indonesia, masalah penggemblengan rohani dan jasmani, toh bisa dilakukan dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Yang kontra a.l. termasuk Utuy Tatang Sontani alm, yang pada tahun 1971 telah meninggalkan Tiongkok, pergi keEropa, dan meninggal dunia sebelum bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Juga pak Jawoto mantan Dubes RI untuk RRT, yang kemudian pindah ke Holland dan meninggal di situ. Saya tinggal di STM selama 7 tahun lamanya.

 STM untuk orang2 Indonesia diadakan di salah satu desa di propinsi Jiangxi, di sebuah desa kecil yang bernama Shi Tou Jie (Sa To Kai) yang termasuk wilayah kabupaten Gao An, sebelah Barat kota nNan Chang, ibukota propinsi Jiang Xi.. Untuk keperluan STM, khusus dibangun kompleks perumahan yang sederhana, yang terbagi dalamdua blok. Blok A untuk yang bujangan atau yang keluarganya ada di Indonesia. Blok B adalah untuk yang sudah berkeluarga, dan anggota keluarganya ada di Tiongkok. Antara Blok A dan Blok B dipisahkan oleh klinik, toko barang2 kebutuhan se-hari2, sawah, lapangan sepakbola dan kakus serta kamar mandi umum, Ruang Perpustakaan, dan Ruang sidang untuk keperluan rapat2 pengurus. Di seberang toko, terletak lapangan bola basket, sekaligus sebagai lapangan volley dan bulutangkis. Di sebelahnya terletak kantin dan dapur tempat kita makan, juga untuk tempat pertunjukan film dan malam kesenian. Dibelakang kantin terletak ladang yang luas, tempat kita bercocok tanam dan beternak kambing dan babi. Di sebelah kantin terletak rumah sekolah dasar/taman kanak2 untuk anak2 Indonesia dan Tiongkok.

 Kamar tidur untuk Blok A, berukuran 3 X 4 meter, diisi oleh 2 orang. Tak ada toilet, kamar mandi, dan dapurnya. Untuk cuci tangan, cuci muka dan cuci baju, disediakan deretan air ledeng di depan kamar, untuk buang air disediakan kakus umum yang sederhana sekali yang terletak di pinggir sawah. Kamar mandi umum dibagi dua, untuk priya dan wanita. Ada air dingin dan air panas. Air dingin dibuka sepanjang tahun, dan air panas cuma 2 kali seminggu pada musim dingin. Semuanya mandi ramai2 di kamar mandi yang luasnya 6 kali 8 meter. Kami cuma memiliki kamar mandi pribadi sampai dengan Juli 1966, setelah itu sampai menjelang meninggalkan Tiongkok pada Desember 1977, kami sudah terbiasakan mandi secara kolektif kaya perajurit. Cuma orang tua yang sakit2an yang memperoleh kamar mandi dan WC pribadi, sebab mereka tak leluasa harus ke WC umum, apalagi ketika musim dingin.

 Disebelah Kamar Mandi Umum terletak poliklinik, praktis buka 24 jam per hari, karena diluar jam kerja selalu ada yang piket, untuk menangani jika ada yang tiba2 jatuh sakit dan butuh pertolongan darurat.

 Penghuni Blok A 100% adalah priya. Penghuni Blok B adalah untuk mereka yang sudah berkeluarga, dan para wanita yang masih single, baik belum atau sudah menikah, ataupun suaminya sudah meninggal dunia.

 Untuk Blok B, bentuknya seperti rumah kecil, yang terdiri dari ruang tamu 3M X 4M , 2 kamar tidur. masing2 ukuran 3M X 4M dan 3M X 3M , satu dapur ukuran 3M X 2M Kakusnya juga berada di luar rumah, terbagi untuk priya dan wanita.

 Kamar Mandi Umum menjadi satu dengan penghuni Blok A., juga terbagi untuk priya dan wanita.

 3 tahun pertama di STM, kita semua praktis menjadi tamu modern, artinya bekerja 8 jam sehari di ladang atau di kandang. Pagi 4 jam, kemudian istirahat siang selama 2 jam untuk makan dan acara bebas. Sore bekerja lagi 4 jam. Malam harinya kadang2 ada film, atau malam gembira, atau malam kesenian. Jika tak ada kegiatan umum tersebut, diisi untuk anjang sono antara teman2 lama dan baru, atau membaca buku di perpustakaan , latihan kesenian, latihan olahraga atau apa saja yang menjadi hobby masing2. Yang tak mau bekerja di ladangpun tak dipaksa, semuanya berdasarkan kesukarelaan se-mata2.

 Yang kita tanam di situ adalah ber-macam2 sayur mayur, seperti kangkung, ubirambat, wortel, bawang putih, kobis, sawi hijau, sawi putih, kacang panjang, mentimun, cabe merah/rawit, lobak putih, labu, kacang tanah dan lain2. Ternak yang diperlihara cuma babi dan kambing, saya minta bekerja di kandang babi, bekerja di situ selama 9 bulan lamanya.

 Sebetulnya. tiap orang cuma mendapat giliran 3 bulan bekerja di kandang, saya minta diperpanjang dua kali ,total jenderal bekerja sampai 9 bulan lamanya. Termasuk yang paling lama dan paling ahli dalam soal pelihara babi, babi2nya saya latih dengan aba2 khusus, begitu mendengar teriakan saya, babi2 tersebut ber-bondong2 berbaris pulang ke kandang untuk makan santapan yang istimewa, yaitu dedak yang diragikan menjadi harum seperti arak tape, dicampur dengan sisa makanan dari kantin yang dimasak lagi di kandang. babi. Ya, babi2 tersebut sudah mengenal jeritan saya yangberarti ada santapan lezad di kandang.

 Ketika babi betina mau melahirkan, saya menunggu dari tengah malam sampai pagi buta. Sampai selesai semua proses kelahiran anak babi. Ternyata anak2 babi tak usah diajari sudah tahu kemana harus mencari susu induknya, sama halnya dengan anak kucing yang pernah saya pelihara waktu kecil di rumah.

 Tapi anak babi ini penakutnya luar biasa, tidak seperti anak kucing dan anak anjing yang mau dipegang oleh kita. Anak babi ini jika kita sentuh, terus lari dan men-jerit2 kaya mau disembelih., se-olah2 sudah diberitahu oleh induknya, hati2 dengan manusia yang paling suka makan panggang anak babi. Sedangkan kucing dan anjing cuma jadi peliharaan kesayangan, tidak boleh dipotong dan dimakan dagingnya. maka mereka tidak takut kepada manusia, bahkan manja kepingin di-usap2 kepalanya.

 Malam hari ketika menunggu kelahiran anak babi, saya bikin bakmi goreng Jakarta untuk disantap oleh piket yang bekerja di kandang. Khusus saya bikin sambel bawang putih yang dicampur dengan tomat. Karena pakai minyak babi, vetsin, kecap asin, bawang putih, bawang goreng, merica dan sayuran segar yang baru dipetik dari ladang, maka sedapnya luar biasa, apalagi di STM tak ada warung bakmi yang jualan bakmi goreng seperti itu. Masak memasak memang menjadi salah satu keahlian saya yang diakui oleh seluruh penduduk kampung Indonesia. Dan salah satu hobby dari sementara sahabat yang punya kegemaran makan enak. Maklum dikampung cuma ada kantin umum yang menyediakan makanan sederhana yang dimasak dengan kwali raksasa, dan rasanya seperti ransum asrama tentara. Tak ada warung nasi atau restoran seperti yang biasa kita alami ketika hidup di kota. Jika mau makan enak harus gulung lengan baju dan masak sendiri. Dapurnya secara darurat dibikin di pinggir sawah, yang dimasak a.l. soto ular, karena banyak sekali ular berbisa di STM, Sup jamur hutan, yang juga banyak terdapat pada musim hujan disekitar perumahan kita, goreng burung, gulai burung, sambel goreng, kari ayam, gado2, berambang asem pucuk ubi rambat dll………Pendek kata, makan enak menjadi salah satu hiburan dari mereka yang mempunyai kepandaian masak seperti saya. Sampai saya memberikan nama sambel ciptaan saya adalah Sambel Goncang Lidah, sebab terkenal sedaaaaap!

 Tahun ke-4 sampai tahun ke-7, kita cuma bekerja 2 kali per minggu, dan tiap kali cuma 4 jam saja. Jadi banyak waktu digunakan untuk kegiatan Kebora, pendidikan kanak2, dan lain2 menurut kegemaran masing2 yang berbeda-beda. Hal ini sudah saya ceritakan pada seri ke-6 yang lampau.

 Meskipun ketentuannya bekerja di ladang umum 2 kali seminggu, tapi saya hampir tiap hari bekerja di ladang pribadi sebagai hobby dan gerak badan, bersama pakUran anak Bali, Ganoto arek Suroboyo, saya mengerjakan ladang pribadi ini dengan gembira, yang saya tanam disamping kacang tanah, cabe rawit dan cabe merah, juga mentimun, kacang panjang, ubi rambat, singkong, labu , jagung, tomat, oyong, gambas, pare, ketumbar, kemangi, daun bawang, selederi dan lain2. Sebagian besar hasilnya disetor ke kantin umum untuk dinikmati bersama, sebagian kecil masuk ke dapur pribadi. Badan saya sehat dan kulit menjadi ke-hitam2an kena sinar matahari., juga karena pintar masak.

 Kebanyakan dari orang Indonesia di kampung ini senang bercocok tanam, tapi ada juga dua tiga orang yang tak mau bekerja dengan alasan kita kan tamu, buat apa mesti cape2 kerja, tak kerjapun tetap dapat makan.

 Ya memang kita semua bekerja bukan untuk mencari nafkah, cuma untuk hobby dan anggap saja sebagai olahraga , tuan rumahpun tidak pernah memaksa kita untuk bekerja. Bahkan kalau kita sedang bosan bekerja, boleh pura2 sakit, masuk rumah sakit untuk beristirahat . Tuan rumah, meskipun tahu, juga pura2 bodoh saja.

 Kalau kepingin makan telor mata sapi, gampang saja, pura2 sakit dan istirahat di rumah, nanti akan diantarkan mi kuah dengan 2 butir telor mata sapi . Makanan lux yang khusus untuk orang sakit. Belakangansetelah kita mulai berani membeli telor ayam kepada petani,barulah bisa makan telor tanpa pura2 sakit lagi. Tapi oleh Tuan Rumah membeli telor kepada petani secara langsung tidak diperbolehkan, alasannya merangsang keinginan menjadi kapitalis dari para petani Tiongkok, dan merusak sendi perekonomian Tiongkok, demikian nasihat dari Tuan Rumah yang disampaikan secara resmi dalam rapat penghuni sekampung. Namun nasihat ini tidak kami gubris, sebab alasannya terlalu fantastis dan tak masuk di akal sehat Dan ternyata Tuan Rumah juga tak bisa berbuat apa2, dan bahkan ada staf mereka yang diam2 bersama kami membeli telor di pasar gelap ini!

 Dengan demikian, kita bisa mengolah sendiri balado telor, dengan bumbu masak yang kita tanam sendiri, bisa mengolah semur telor, bikin kue bolu kukus, bikin macam2 kudapan dan makanan dari telor ayam. Bikin kue pudding panggang, menggunakan manthou kering, telor ayam dan susu, dipanggang di atas tungku batubara.Ini sering kami lakukan di rumah pak Ibrahim Isa yang istrinya pandai masak. Penghidupan kami di kampung jadi tidak terlalu sederhana dan menjemukan. Ya ini adalah untungnya orang yang liberal dan tak berdisiplin seperti saya2 ini.

 Cinta kerja badan dengan cinta makan enak rasanya tidak berkontradiksi, apalagi buat saya yg dibesarkan di Jakarta dan Bandung, yang penuh dengan jajan macam2., yang sudah terbiasakan makan ini dan itu yang lezad2. Tujuan kami ke STM tidak sama dengan kader2 Tiongkok yang digembleng dan dicuci otaknya, diisi dengan Fikiran Mao Tjetung, agar Tiongkok se-lama2nya tidak berubah menjadi menjadi negeri kapitalis. Itu urusan dalam negeri Tiongkok, yang kita tak mau campur, juga tidak mau ikut2an apa yg mereka sedang lakukan, tidak mau mengikuti segala nasehat yang mereka berikan, jika nasehat itu tak masuk di akal sehat. Jadi meskipun sama2 menggunakan nama STM, STM Tiongkok dan STM Indonesia banyak perbedaannya.

 Ya, boleh dibilang STM Indonesia lebih kreatif, lebih bebas, karena kita ramai2 ke situ bukan karena dipaksa seperti kader2 Tiongkok. Cuma sekedar pindah dari kota ke desa, Ketika tinggal di kotapun, saya dan beberapa teman sudah mulai bercocok tanam, sebagai hobby, juga untuk memenuhi kebutuhan hobby masak memasak dari orang Indonesia.yang sudah dimulai sejak tahun 1966.

 Pendek kata,kami mempunyai banyak kebebasan yang tidak dimiliki oleh orang2 Tiongkok.

 Saya termasuk yang agak nakal, karena menderita sakit lambung, saya diperbolehkan makan makanan khusus. Di rumah sakit, ketika ditanya mau makan apa? Saya jawab kepingin makan roti panggang., alasannya mudah dicernakan. Maka koki dapurnya khusus pergi ke Hotel untuk belajar bagaimana membuat roti tawar. Setiap kali saya mendapat roti, semua pasien yang kebetulan berobat di rumah sakit, kebagian roti yang menjadi jatah saya itu, pak Sobron tentu masih ingat kan, setiap saya diopname di Nanchang, terus nyeletuk,.”Wah kita akan makan roti tawar lagi.” makanan lux yang bisa kita nikmati ketika itu.

 Ya buat kita2 itu, makan roti tawar adalah makanan istimewa, karena di toko atau di pasar tak ada yang membikin atau menjual roti tawar, apalagi roti panggang. Yang ada cuma roti kukus alias manthou. Margarine atau mentegapun tak ada, roti itu kita panggang, dan dicelup dengan susu sapi manis, atau kopi susu, atau coklat susu. Orang asing masih bisa membeli susu, kopi dan coklat (ovaltine) di toko persahabatan, toko yang khusus dibuka untuk orang asing dan pejabat2 tinggi pemerintah Susu bubuk, kopi bubuk dan ovaltine adalah makanan lux, tak dijual untuk rakyat biasa atau kader menengah ke bawah. Itulah selingan hidup saya, disamping cinta kerja badan, juga cinta makan enak.

 Saya termasuk yang kadang2 pergi “tembur” alias tembak burung. Bawa senapan angin, bersepeda ramai2, masuk desa keluar desa untuk tembak burung. Secara tak sengaja kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa melaratnya petani Tiongkok yang sudah 20 tahun lebih Tiongkok Baru berdiri.

 Kaum tani Tiongkok, hidupnya melarat sekali, akibat dijalankannya garis politik yang ultra kiri, dengan motto lebih baik negeri sosialis melarat ketimbang negeri kapitalis yang makmur.

 Garis politik ultra kiri ini, sejak 1978 telah dikoreksi oleh pemerintah yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, kaum tani yang rajin diperbolehkan menjadi kaya raya. Ini pangkal mulanya RRT menjadi makmur seperti dewasa ini.

 Isteri saya pernah dipaksa menjadi petani oleh penguasa militer setempat, usianya baru 19 tahun, selama 3 tahun kerjanya cuma menyanyi dan menari yang memuja Partai Komunis Tiongkok dan Mao Tjetung, ketika sekolah2 mulai dibuka, ia mendaftarkan diri untuk bersekolah, tapi tidak diizinkan, karena orangtuanya bukan kaum buruh, kaum tani atau perajurit. Semua perantau Tionghoa yang datang ketika RBKP, tidak dizinkan bersekolah, melainkan harus cuci otak melalui terjun ke desa jadi petani model baru. Nasib isteri saya tidak sama dengan saya, karena ketika itu statusnya adalah WN Tiongkok, tidak ada perlakuan istimewa sebagai tamu Negara seperti saya. Ia tak bisa pura2 sakit seperti saya, biar sakit bener2an juga mesti masuk ke sawah yang dinginnya seperti air es. Kalau tak bekerja berarti akan mati kelaparan. Tak ada tunjangan social buat petani di pedesaan. 3 tahun ia menderita, sebagai korban dari politik ultra kiri yang berkecamuk di RRT pada 1966-1976. Ia begitu cinta kepada Ketua Mao dan Partai Komunis Tiongkok, tetapi mendapat pembalasan yang begitu kejam, dipaksa turun ke desa, siapa yang menolak, listerik, air ledeng dan kupon makanannya disetop Dibawah ancaman kegelapan, kehausan dan kelaparan, ia dan teman2 sekolah yang berasal dari Indonesia terpaksa menyerah kalah.. Ketika itu kami berdua belum berkenalan, andaikata sudah berkenalan, toh percuma saja, tidak boleh saling berhubungan, akan mengalami nasib seperti Lilian, yang juga dipaksa turun ke desa menjadi petani sungguhan. .

 Untuk orang Indonesia tembur juga bermaksud untuk makan enak, selesai tembur, kita ramai2 membuat santapan lezad, ya sate burung, semur burung, bestik burung, goreng burung, kalio burung, rendang burung dll

 Juga merupakan santapan lezad yang tidak terjual di restoran atau warung makan di sekeliling kampung kita.

 Ya, bercocok tanam pribadi, disamping sebagai olahraga, juga menyediakan bahan pelengkap untuk masak2 burung, jamur hutan, ular, katak yang banyak terdapat di se-keliling kampung Indonesia. Penghidupan kolektif semacam ini, rasanya cuma terjadi sekali saja dalam sejarah saya, meskipun kita hidup dalam masyarakat yang kurang normal, kita berusaha menjadi manusia yang normal, yang cinta kerja dan cinta makan enak.

 Inilah sekelumit kenang2an indah ketika hidup di STM selama 1970-1977, suka duka yang tak mudah dilupakan se-lama2nya. Kisah2 lainnya di STM akan dilanjutkan pada seri yad. :

- Seri - 8 Embah Suroh, pejuang tua yang pernah dibuang di Boven Digul
- Seri – 9 Keluar Masuk Rumah Sakit 94 Nan Chang
- Seri – 10 Musim Panas, Meninjau Keliling Tiongkok.
- Seri – 11 Surat Menyurat Dengan Keluarga Di Tanah Air Nyambung Lagi
- Seri – 12 Sayonara STM, Sayonara Petani Modern !

TOP

Seri ke 8
KISAH EMBAH SURO, PEJUANG TUA DARI BOVEN DIGUL.
Oleh Thio Keng Bouw

 Embah Suroh atau lebih dikenal dengan nama Embah Ramijo adalah orang Indonesia tertua di kampung Indonesia. Saya mulai berkenalan dengan beliau ketika masih dirawat di sanatorium pada tahun 1967, beliau adalah orang yang paling dihormati oleh kita semua, bukan karena usianya paling tua, yang terutama karena beliau pernah dibuang ke Boven Digul oleh Kolonial Belanda pada 1926 s/d 1942, kemudian dipindahkan ke kamp pembuangan di Australia sampai 1949.

 Banyak cerita2 yang sangat berkesan dari beliau, yang tak terlupakan se-lama2nya. beliau ke RRT pada tahun 1964, karena ketabrak mobil di Jalan Kramat Raya, ketika itu beliau sedang pergi ke Jajasan Pembaruan, tempat beliau bekerja sebagai pegawainya. Untuk mengkonsolidasi kesehatannya, beliau dikirim ke RRT untuk berobat, ketika meletus G30S, usia beliau sudah 74, dan masih mengalami perawatan khusus di rumah sakit, belum mampu berjalan, masih duduk di atas bangku roda.

 Beliau adalah seorang wartawan di Semarang, karena sering menulis artikel yang mengkritik Kolonial Belanda, maka ketika Pemberontakan PKI 1926, beliau ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, yang terkenal sangat belukar dan tempat sarang nyamuk tropika yang ganas. Beliau pernah hampir mati karena menderita penyakit malaria tropika, untung tertolong nyawanya berkat kemauan hidupnya yang sangat keras, tak sedikit kawan2nya yang tak tertolong, meninggal dunia di Digul. antaranya termasuk Aliarcham.

 Ketika saya berkenalan dengan beliau, beliau sedang mengunyah jahe mentah. “Wah hebat sekali embah, jahe yang pedas dikunya kaya makan permen” ujarku. “Ini sih belum apa2, ketika di Digul, embah sering membikin sambel cabe rawit satu cobek, kemudian setiap 5 buah cabe rawit diikat menjadi satu, dicocol dengan sambel rawit tadi, dimakan bersama nasi panas2.” “Mengapa embah kuat sekali makan cabe?” “Embah ini orang miskin, sejak kecil sudah terbiasa makan nasi, cuma dengan lauk cabe rawit dan garam saja, akhirnya terbiasakan, dan kalau tak ada cabe rawit. nafsu makan menjadi berkurang”. “Embah tidak takut sakit perut, makan cabe rawit begitu banyak?” “Gampang saja obatnya nak, ambil pucuk pohon cabe lima helai, cuci bersih, kunyah sampai halus dan telan ke dalam perut, embah tanggung segala macam racun cabe bisa disembuhkan oleh daun cabe yang mengandung unsur anti racun cabe tsb:.”

 Wah betul2 berpengalaman embah kita ini, yang diperoleh di Boven Digul itu.

 “Mengapa kini embah mengunyah jahe mentah?” tanyaku lagi. “Jahe mentah berguna untuk obat masuk angin, dan menambah daya tahan embah terhadap macam2 penyakit”.

 Salah satu kesukaan embah adalah makan sambel bawang putih. Saya sering membuatkannya, sederhana sekali, yaitu cabe rawit, garam, bawang putih diulek sampai halus, kemudian disiram dengan minyak jelantah bekas goreng ikan asin. dimakan bersama nasi putih panas2, wah rasanya sungguh sedaaaaaap sekali.

 Pada suatu hari, saya ditanya oleh Embah Suroh, “Nak Keng Bouw, apakah nak bersedia menemani embah, tidur sekamar dengan embah, agar kalau ada apa2, Embah bisa minta bantuan nak, karena kaki Embah kurang begitu baik, jalan harus perlahan-lahan, dengan tongkat lagi. Tapi nak harus siap fikiran, Embah ini mempunyai kebiasaan jelek, yaitu kalau tidur ngoroknya lebih keras daripada suara orang menggergaji kayu. Ketika di Jakarta, Embah perempuan sering bilang, awas mbah, nanti rumah kita ambruk digoncang oleh suara ngoroknya….” Saya jawab: “ Saya bersedia mbah, dan jangan khawatir, sebab saya juara tidur, meskipun ada suara drum band disebelah saya, saya bisa tidur dengan nyenyak.”

 Ya di kalangan orang Indonesia, saya terkenal jago tidur. Setiap ada peninjauan, setiap mendengarkan pidato perkenalan dari Tuan Rumah, baru 10 menit, saya sudah tertidur di atas kursi sambil memeluk akordeon. Jika waktu istirahat sudah tiba, saya dibanguni oleh teman2, disuruh menarik akordeon, menyanyikan pop Tiongkok seperti Hidup Ketua Mao yang tercinta dan lain sebagainya. Selesai istirahat. mendengarkan pidato lagi, sayapun tidur lagi. Semua teman kewalahan melihat penyakit tidur saya, setiap mendengarkan pidato yang membosankan, yang isinya kayak klise saja, bulak balik itu2 saja. Yaitu tentang kemelaratan mereka ketika sebelum pembebasan, kemudian hidupnya menjadi enak setelah pembebasan, kemudian dilaporkan sejumlah data2 sebagai bukti kemelaratan dan kebahagian mereka.

 Ketika ramai2 ke STM, Embah Suroh dirawat di rumah sakit yang terletak di kota Nan Chang. Cuma beliau sering pulang ke rumahnya di kampung Indonesia, disinilah saya bertugas menemani beliau, terutama waktu malam hari, beliau sangat butuh teman sekamar. Siang hari, kami bertetangga dengan pak Mamat, ibu Kinah yang usianya juga sudah lanjut. Jadi beliau mempunyai teman ngobrol, juga banyak teman2 sekampung yang bergantian beranjang sono ke rumah beliau

 Saya bertugas juga membikin masakan khusus yang menjadi kedoyanan beliau, misalnya ayam goreng, semur sapi, sayur asem, tumis bayam, kangkung atau gambas, oseng2 pare, kari daun singkong, berambang asem pucuk ubi rambat, bakmi goreng, gado2, pecel, empal sapi, ikan bumbu bali, balado terong, pepes ikan, soto ayam, abon ayam, pergedel kentang dan pergedel jagung, dan selalu mesti ada sambel bawang putih, favorit beliau itu. Beliau makannya sederhana saja, setiap makan, cuma satu macam masakan dan sambel, karena beliau tak mau merepotkan saya untuk masak macam2..

 Masakan ini ada yang sebelumnya saya sudah bisa memasaknya, tapi ada juga yang saya belum bisa, cuma berdasarkan resep Embah Suroh, diucapkan dengan mulut,dan saya kerjakan dibawah pengawasan beliau. Masakan2 seperti ini tentu tak akan ditemui di kantin, atau dirumah sakit. Karena koki orang Tiongkok tidak mampu membikinnya. Bakat seni saya bukan saja di bidang musik, juga tampak di bidang seni dapur, yang membutuhkan perasaan halus dan sama2 membutuhkan teori harmoni yang kuat.

 Kemampuan saya membaca dan menterjemahkan sastera kuno Tiongkok, seperti Roman Tiga Kerajaan, 108 Pendekar Bukit Liang San juga menjadi alat untuk pergaulan dengan orang2 sekampung, mereka sering berkerumun dihalaman depan rumah Embah Suroh, mendengarkan terjemahan langsung saya dari 2 buku yang penuh dengan tipu muslihat peperangan dalam sejarah Tiongkok.

 Pendek kata, melalui musik, seni masak, dan seni sastera, membikin saya tergolong orang yang paling banyak temannya di kampung Indonesia, baik tua dan muda semuanya kenal baik kepada saya.

 Embah Suroh terkenal rapih dan pembersih, ini sifat umum dari orang shio kelinci yang pernah saya kenal. Masakannya tidak boleh kita cium dengan hidung, ia marah besar, karena bisa cepat basi katanya. Juga kalau merapihkan pakaian beliau, tangan. kita harus kering, badan tak boleh berkeringat dan menetes ke atas baju bersih. Kalau mengambil sambal dari botol, selalu harus dengan sendok bersih yg sudah dilap kering. Kalau menyapu lantai, harus pelan2, tak boleh abunya ngebul ke mana2.

 Pernah satu kali, sambel bawang yang di dalam botol, oleh Martini dicium, embah marah besar, sambel itu dibuang, dan Martini disuruh membuatkannya lagi. Kata embah, sambelnya sudah kemasukan bakteri dari hidung si Martini. Martini dengan senang hati menumbuk sambal lagi. Dan memang Martini termasuk wanita di STM yang suka masak, meskipun masakannya menurut pak Sobron tidak selezad masakan si Keng Bouw, tapi ia rajin masak, dan sangat memperhatikan teman2 tua seperti embah Ramijo, pak Dasir, pak Mamat. pak Marko, pak Misbach, ibu Kinah dan lain2. Yang paling dipuji pintar masak adalah ibu Tahsin, orang Banten kata beliau. Wanita Banten rata2 harus pandai masak, apalagi sebagai isteri dubes yang harus senantiasa melayani tamu2 dari tanahair. Ibu Tahsin kadang2 juga bikin masakan lezad buat beliau, jadi beban saya bertambah ringan. Selain itu juga ibu Anfa,. Ibu Amrin dan ibu Isa juga pernah membuat masakan buat beliau.

 Pakaiannya selalu dicucinya sendiri, kata beliau, kalau tidak ada kerja badan sedikitpun, badan cepat rapuh dan tak bisa panjang umur. Setiap hari., beliau selalu minta dituntun jalan2 di sekitar rumah kediaman, yang penuh dengan tanaman bunga, pohon buah persik, tanaman gambas, ketimun, pare, dan cabe rawit. Ada juga pohon pisang, yang tak bisa berbuah, cuma diambil daunnya untuk membikin lontong, pepes ikan dan kue pisang garing. Dibelakang rumah pak Mamat dan pak Marko, saya tanami pohon singkong dan ubi rambat, yang cuma diambil pucuknya untuk dimakan. Ini menjadi santapan khusus buat Embah Suroh.

 Ketika di rawat di rumah sakit, saya sering dipanggil oleh dokter agar menemani Embah, sebab Embahnya lagi mogok makan, ini tak enak itu tak sedap, akhirnya dokternya kewalahan, “Apakah kepingin ketemu dengan Keng Bouw?” si Embah manggut2. Saya didatangkan, bukan saja karena pintar masak juga pintar humor dan dongeng cerita silat Tiongkok . Embah menjadi tak kesepian di rumah sakit, ada teman ngobrol, ada makan enak yg cocok dengan selerahnya, ada yang main akordeon sambil nyanyi.

 Para dokter dan jururawat di rumah sakit pun senang sekali dengan kedatangan saya, karena saya selalu membawa akordeon, dan meramaikan malam gembira yang sering diadakan untuk menghibur para pasien. Yang suka makan roti tawarpun juga senang, karena saya selalu masuk ke dapur dan minta dibikinkan roti tawar, makanan se-hari2 yang sederhana buat orang Indonesia, tapi makanan yang lux buat penduduk kota Nan Chang ketika itu. Disamping itu, saya juga bisa mengajarkan koki Tiongkok untuk masak yang menjadi kesukaan embah Suroh, juga untuk pasien Indonesia lainnya, seperti pak Dasir, Wawang, bung Esmo, Pak Mamat dll,.meskipun kwalitet masak para koki Tiongkok masih berbeda, tapi sudah lumayan juga deh.

 Di rumah sakit, saya juga berfungsi sebagai interpreter, karena penguasaan dua bahasa Indonesia dan Tionghoa. membantu meringankan beban interpreter Tiongkok yang jumlahnya cuma 5 orang saja. Yang kesemuanya berada di desa, cuma kadang2 saja ke kota Nan Chang.

 Pada suatu pagi, saya dibanguni oleh pak Argo, diberitahu bahwa embah Suroh pagi ini telah meninggal dunia dengan tenang di rumah sakit. Malam harinya masih sempat nyanyi lagu Bengawan Solo di hadapan jururawat, jam 5 pagi, ketika diukur tekanan darahnya, sudah turun dengan hebat, dan denyut nadinya lemah sekali, meskipun diusahakan pertolongan darurat macam2, ibarat lampu minyak yang sudah habis minyaknya, apinya padam. Embah Suroh meninggal dunia dengan tenang, dalam usia 86 tahun.. Kami semuanya merasa sangat kehilangan, karena belum selesai mendengar pengalaman beliau yang kaya ketika menjadi wartawan pada tahun 20-an, ketika jadi orang buangan di Boven Digul dan Australia.

 Setelah Embah Suroh meninggal dunia, rumah embah saya kembalikan kepada pengurus asrama STM, saya pindah ke blok A lagi. Rumah embah diberikan kepada sahabat tua yang lebih membutuhkan, yaitu ibu Endang yang juga sudah lanjut usianya. .

Bersambung ke seri 9: KELUAR MASUK RUMAH SAKIT DI NANCHANG

TOP

Seri ke–9
KELUAR MASUK RUMAH SAKIT DI NAN CHANG
Oleh Thio Keng Bouw

 Rasanya tidak akan lengkap jika pengalaman suka duka ini tidak menceritakan stress yang menimpa penulis, sampai menjadi pelanggan rumah sakit Nan Chang.

 Dalam tamu politik Indonesia, rasanya saya yang termasuk yang relatif sehat, namun paling sering mundari mandir ke rumah sakit Nan Chang. Ketika tahun 1993, saya kembali lagi ke Nan Chang, bertemu dengan para interpreter, para pegawai dapur, para dokter dan supir, dalam jamuan makan yang khusus saya adakan sebagai tanda terima kasih saya kepada sahabat2 Tiongkok, yang selama 12 tahun memperlakukan dengan baik tamunya yang “nakal” ini, saya mengakui terus terang, bahwa selama 7 tahun di STM Nan Chang, saya pernah berbuat tidak jujur kepada para dokter, sudahsembuh, tapi masih pura2 sakit, agar lebih lama tinggal di rumah sakit yang fasilitasnya lebih baik ketimbang di kampung Indonesia. Sahabat2 Tiongkok itu, terutama dokternya bilang, kami juga tahu soal ini, tapi anda kan tamu kita yang terhormat, kamipun pura2 bodoh sajalah, anda mau tinggal berapa lama di rumah sakit, bukan urusan kami, toh anda lama2 juga bosan dengan sendirinya, dan terpaksa harus kembali ke kampung Indonesia lagi. Sebab di Rumah Sakit cuma ada akordeon, tapi tak ada piano yang menjadi hobby utama anda. Semuanya tertawa ter-bahak2, mengenangkan ke”nakalan” saya itu.

 Memasuki musim dingin tahun 1970, tengah malam jam 3, tiba2 saya terbangun, perutnya sakit bukan main. Ahtun, sahabat karib saya yang tidur sekamar saya banguni, ia segera pergi ke klinik, yg letaknya di tengah2 kampung, antara Blok A dan Blok B. Tak sampai 10 menit, datanglah dokter pembantu yang piket malam, Siao Peng namanya, ia membawa kotak kecil berisi peralatan kedokteran dan obat2an untuk pertolongan pertama. Setelah diperiksa, ia bertanya,” Takut di tusuk jarum perutnya nggak?” Saya jawab: “Tak apalah, cobalah tusuk agar rasa sakitnya berkurang.” Dengan penuh kesabaran dan hati2, Siao Peng menusuk sekitar pusar saya, tidak berapa sakit, tapi rasanya ngilu. ….”kalau terasa ngilu, ini berarti berhasil kena hiatnya, kena bagian vital yang akan menyembuhkan sakit anda”, ujar Siao Peng, Cuma sekitar 10 menit saja, selesailah sudah penusukan jarum tersebut. Betul2 ajaib, rasa sakit perutnya sudah 80% hilang. Kemudian Siao Peng memberikan beberapa tablet obat sakit perut, wei shu ping katanya, segera saya makan. Terus tidur lagi dengan nyenyak sampai pagi hari

 Siang harinya tak ada rasa sakit lagi, wah sudah sembuh nih, hebat juga si Siao Peng ini. Oleh Ahtun saya dianjurkan istirahat satu hari dulu, dan ia pergi ke kantin seperti biasa, dan mengambilkan sarapan pagi berupa manthou kukus dan bubur. Nasi goreng tidak dibawakannya, karena sulit dicernakan. Ya inilah sarapan pagi kita semua di kampung, tidak ada roti, tidak ada ham, susis, keju atau telor mata sapi, tidak ada nasi uduk, ketan urap atau nasi kuning dll tidak ada susu, coklat, kopi atau lemon tea,.dll. Sarapan pagi yang sederhana inilah yang kami makan selama 7 tahun di STM. Tapi cukup kenyang dan lezad. Apalagi kalau nasi goreng yang dibubuhi sambel goncang lidah made in thiokengbouw..

 Siangnya, Ahtun membawakan lagi bakmi kuah dengan telor mata sapi, inilah makanan untuk orang sakit di kampung. Di kantin, jarang sekali ada telor mata sapi ini. Saya makan dengan lahap dan menikmati telor mata sapi itu. Sore jam 5, Ahtun kembali mengantar bakmi kuah dengan daging babi dan sayuran . Saya makan dengan lahap.. Letak kantin dengan kamar kami tak terlalu jauh, cuma l.k. 500 meter saja. Tapi Ahtun dgn penuh kasih sayang bilang “ Kau istirahat dulu ya, biar saya yang mengambilkan makanan untuk kau.”

 Tengah malam, saya terjaga lagi, ketika melihat weker, kok persis jam 3 pagi. Kaya sudah distel saja, perut kembali sakit, perih seperti kemarin malam. Ahtun dengan telaten kembali bangun dan pergi ke klinik. Siao Peng kembali memberi tusuk jarum dan obat2an wei shu ping. Setelah itu saya tidur nyenyak lagi. Kejadian seperti ini telah ber-turut2 terjadi sampai 3 malam. Maka keputusan klinik saya harus diangkut ke kota Nan Chang, ke rumah sakit agar mendapat pengobatan dan perawatan yang lebih baik.

 Di rumah sakit, saya bertemu dengan embah Suroh dan sahabat2 yang kebetulan sakit di situ, ketemu juga dengan Mawardi dan Indra, yang puteranya Yinchung yang baru berusia 1 tahun sedang sakit berat. Yang paling senang adalah embah Suroh, bukan karena saya sakit, karena beliau tahu sakit perut ini bukan sakit yang berbahaya seperti kanker, jantung, lever, paru2 dll. Beliau paling senang ngobrol ngalor ngidul dengan saya, Embah selalu banyak ceritanya yang lucu2. Salah satu antaranya adalah:< SATU APRIL.>

 Di Surabaya, ketika jaman kolonial Belanda, pernah terjadi kegemparan hebat, demikian cerita embah Suroh. Pada suatu hari ada iklan di surat kabar yg mengundang penduduk Surabaya untuk menyaksikan pertunjukan terbuka yang gratis, yaitu perkelahian antara manusia dengan singa. Wah, ketika hari yang ditentukan itu tiba, ber-bondong2lah penduduk Surabaya pergi ke alun2 untuk menyaksikan pertunjukan yang agak fantastis ini, masak ada manusia yang begitu hebat, kaya Tarzan saja berani berkelahi dengan singa, apakah singanya singa sedang menderita sakit parah? Apakah singanya singa bayi atau singa tua yang jompo dan ompong? Masing2 membawa pertanyaan dalam hatinya .

 Ribuan orang yang mengerumuni tempat yang ditulis dalam iklan tersebut. Setelah tiba jam yang ditentukan, yaitu pukul 12 siang, tidak tampak panitianya, tidak tampak panggungnya, tidak tampak manusia yang katanya mau berkelahi dengan singa, juga tidak tampak singa gede, singa bayi atau singa jompo. Semua penonton ngomel panjang pendek, merasa tertipu oleh iklan itu. Tapi masih penasaran, terus menunggu dibawah terik sinar matahari. Yang paling senang adalah tukang es, tukang buah2an dan minuman, tukang pecel, tahu telor, sate dan lain2nya yang laku sekali dagangannya. Sampai jam 2 siang masih belum kelihatan mata hidung Tarzan Surabaya yang katanya mau berkelahi dengan singa itu. Akhirnya para penonton satu persatu pulang ke rumah, sambil ngomel dan mengutuk penipu yang pasang iklan itu.

 Keesokan paginya, dalam halaman yang sama. tercantum sebuah iklan besar yang isinya cuma kata2 : KEMARIN ADALAH SATU APRIL. Masih banyak yang tidak mengerti apa maksud iklan aneh ini, Cuma yang berpendidikan Belanda yang tersenyum kecut, mereka tertipu oleh kebiasaan orang Belanda yang suka menggoda teman2nya pada tiap tanggal 1 April, yang kita kenal dengan April Mop.

 Saya tertawa ter-bahak2 mendengar cerita embah yang lucu ini. Saya tanya:

 “Embah! Apakah embah termasuk yang tertipu itu?” Jawabnya : “ Ya, embah waktu itu masih muda, belum berpengalaman, meskipun sudah tahu sedikit tentang April Mop, tapi sedikitpun tidak menduga ada April Mop yang begitu hebat yang menipu sampai ribuan orang…..”

 Di rumah sakit saya diperiksa dengan teliti perutnya, ditusuk jarum perutnya dan juga kakinya. Diberi makan obat2an, dan diberi makanan khusus untuk penderita sakit perut. Oleh dokter saya diberi daftar makanan mingguan, semuanya makanan yang mudah dicernakan dan rasanya enak2. Kemudian dibawa ke dapur, diperkenalkan kepada kepala koki rumah sakit, agar saya bisa memesan makanan apa saja yang disukai, asal yang mudah dicernakan, dan juga boleh masak sendiri, buat saya , juga khusus buat embah Suroh dan Pak Dasir (ayah Surono, pencipta lagu Di Sungai Mutiara)

 Pak Dasir usianya sudah 71 tahun, tapi ia pernah diserang stroke ketika meninjau di tambang batubara di Tiongkok Timur Laut. Badannya lumpuh sebelah. Jadi perlu perawatan khusus dan makanan khusus pula. Dua orang tua ini pun senang dengan kedatangan saya yg tergolong salahsatu ahli masak di kampung. Indonesia.

 Cuma satu bulan saya dirawat di Rumah Sakit 94, setelah sembuh, saya diperbolehkan pulang, dengan ketentuan bisa meneruskan makanan khusus itu di kampung, terutama bakmi kuah dengan daging dan sayur2an, yang saya masak sendiri di dapur. Bakminya bikin sendiri, jadi tidak pakai soda, agak lembek, tapi sudah termasuk enak sekali, apalagi saya masuki telor ayam ketika bikin bakmi itu di dapur

 Desember 1971, saya kembali kumat sakit perutnya, setelah diobati seperti diatas tak ada hasilnya apa2, kembali saya diangkut ke Rumah Sakit 94 di Nan Chang

 Semua penghuni rumah sakit senang sekali. Karena kali ini saya diperbolehkan membawa akordeon saya, dengan alasan kesepian di rumah sakit. Dokter dan jururawat rumah sakit bilang, 1 Januari 1972 kami akan adakan Malam Gembira Seperti biasa, harap kau ikut memberi pertunjukan dengan akordeonmu. Ya , segera aya kumpulkan pasien2 Indonesia yg kebetulan berobat, mengadakan latihan kilat untuk acara nyanyi bersama, satu lagu Indonesia Dari Sabang Sampai Ke Merauke dan satu lagu Tiongkok: Hidup Ketua Mao. Saya sendiri memberikan acara akordeon tunggal dan nyanyian tunggal, lagunya adalah Rayuan Pulau Kelapa dan Lagu Long Mars Tiongkok. Sahabat2 Tiongkok semuanya bilang, anda tentunya pernah masuk Ansambel Tari dan Nyanyi, “ya, jawabku, saya ini pernah 8 tahun jadi ketua Rombongan Kesenian di Indonesia, sudah ratusan kali naik pentas” Padahal saya cuma ikut acara paduan suara, angklung dan orkes kecapi saja, yang nyanyi tunggal adalah Muskaso, putera Minang yang suaranya merdu sekali, apalagi kalau menyanyikan lagu2 Tari2an Minang dan lagu Lambaian Bunga, semuanya bersorak sambil teriak Bis! Bis! Bis! Artinya minta nyanyi sekali lagi. Tapi karena diantara sahabat2 di kampung, saya termasuk salah satu dari 4 penyanyi tunggal yang terbaik, maka di sini saya sering sekali tampil sebagai penyanyi tunggal dalam acara2 kesenian. Maklum, monyetpun jadi raja hutan, jika sang harimau sedang sakit.

 Pada Tahun Baru Imlek, Februari 1972, saya kembali memberi sumbangan acara dalam Malaman Imlek di rumah sakit. Dokter2 dan jururawat semuanya senang kepada pasien yang punya sedikit kebolehan di bidang kesenian. Sebetulnya saya sudah sembuh sakitnya, namun timbul keinginan yang “nakal”, pura2 masih sakit, obat2nya saya buang ke WC, kalau diperiksa bilang masih sakit Dokter2nya sebetulnya sudah tahu kenakalan saya ini, dibiarkan saja, karena saya dibutuhkan oleh mereka untuk berfungsi sebagai interpreter, sebagai juru masak untuk embah Suroh dan Pak Dasir.

 Bulan Mei 1972, saya minta pulang sebentar ke kampung. Saya diizinkan tapi dengan syarat harus kembali lagi ke Nan Chang, dan akan dipindahkan ke Sanatorium Air Mineral di kaki gunung Lu Shan. Untuk konsolidasi katanya. Saya sih nurut saja deh, kepingin tahu juga bagaimana Sanatorium itu bentuknya.

 Saya tiba di Sanatorium yang indah kaya Hotel Bintang 3, tiap orang mendapat satu kamar yang lengkap dengan toilet yang ada bak mandinya yang bisa berendam di air mineral yang panasnya 40 derajat Celsius Saya adalah orang Indonesia yang pertama yang dirawat disitu. Mula2 agak kesepian juga. Namun karena saya lancar berbahasa Tionghoa, .dan senang bergaul, dengan cepat para dokter, jururawat, bagian security dan koki dapur menjadi sahabat karib saya.

 Sebulan kemudian, ber-turut2 datang pasien Indonesia lainnya, saya jadi tambah teman ngobrol, ada bung Tung Bela dari Aceh, ada Sofyadi dari Minang, ada pak Marko dari Minang, ada Pak Misbah dari Batak, ada Mang Nungcun dari Sunda,ada Mas Sobron dari Belitung, ada Mas Esmo dari Surabaya, ada bung Urip dari Batak. ada Bung Heru dari Jabar, dan lain2 yang saya sudah agak lupa namanya.

 Di Sanatorium, setiap hari saya mesti turun ke dapur, untuk memesan makanan enak yang saya sukai. Misalnya, daging babi yang dicincang halus dan diberi bumbu bawang putih, kecap asin, gula, minyak wijen, sedikit arak, kemudian ditumis diatas wajan.sampai mateng.. Kemudian bakmi kering a la Bakmi Gajah Mada Jakarta, yaitu bakmi telor yg direbus, kemudian dicampur dengan sedikit minyakbabi,vetsin,kecap asin, daun bawang, selederi dan brambang goreng. Dan sambel bawangputih campur tomat. Kemudian dihidangkan bersama sup ayam. Dan banyak sekali makanan enak yang saya ciptakan di sanatorium itu bersama kokinya yang memang jago masak, dan special didatangkan dari Nan Chang, karena yang berobat di situ kebanyakan adalah pembesar2 sipil dan militer tingkat propinsi, jadi kokinya juga mesti yang jempolan. Yang sekarang beruntung adalah isteri saya, karena saya berhasil menguasai masakan Tionghoa yang saya pelajari di sanatorium ini. Seni musik dan seni masakbanyak persamaan, yang satu untuk di dengar dan yang lain untuk disantap. Dibutuhkan keseimbangan antara nada2 yg bermacam2, dan dibutuhkan keseimbangan antara sayur. daging dan bumbu2nya. Barulah menghasilkan musik yang merdu dan masakan yang lezad.

 Di sanatorium, saya juga setiap hari berlatih akordeon, menyanyi, tembak burung dan tangkap kodok. Di sini saya sering bikin kodok goreng mentega, yang dulu pernah saya makan ketika masih di Bandung. Juga bung Sofyadi mengajarkan saya membuat Rendang Padang, karena tak ada daging sapi, terpaksa pakai daging babi, tak ada santan kelapa, terpaksa pakai susu sapi. Pak Marko mengajarkan saya membuat Balado Terong. Setelah 3 bulan di rawat di situ, akhirnya saya diperbolehkan pulang ke kampung, sudah ada acara peninjauan ke Yen An dan Si An yang menantikan saya.

 Sampai tahun 1974, penyakit lambung saya sembuh dengan sendirinya, dokter Shen menganalisa, penyakit ini disebabkan oleh stress yang tidak saya sadari, karena tekanan batin, tidak tahu berapa lama harus tinggal di pedesaan ini, kapan bisa pulang ke Indonesia. Semua pertanyaan saya ini, tak ada seorangpun yang bisa menjawab. Mengapa pada tahun 1974 sembuh dan tak pernah kumat2, ini akan saya ceritakan dalam seri- 11, Surat Menyurat Dengan Keluarga Di Tanahair Nyambung Lagi.

Bersambung ke seri 10: MUSIM PANAS, MENINJAU KELILING TIONGKOK

TOP

Seri ke 10
MUSIM PANAS, MENINJAU KELILING TIONGKOK
Oleh Thio Keng Bouw

 Musim panas di RRT, adalah musim yang selalu kami tunggu2.. Mengapa? Sebab tiap musim panas, para tamu Indonesia pasti diatur peninjauan ke berbagai tempat di Tiongkok. Rata2 makan waktu 3 minggu lamanya. Ya ini adalah hiburan bagi tamu yang selama setahun penuh tinggal terkurung dalam asrama tamu, yang terpisah dari dunia luar, yang tidak bebas bepergian ke-mana2, karena kami semuanya tidak punya surat KTP, tidak punya surat jalan, dan yang paling utama tidak punya cukup uang untuk beli karcis kereta api, apalagi ticket plane. Juga tidak punya uang untuk bermalam di Hotel2, untuk makan di warung nasi atau restoran, dan menyewa mobil untuk pesiar. Paspor kami sudah tidak berlaku, sudah daluwarsa dan telah dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Kalau mau jalan2, ya paling2 cuma masuk kampung keluar kampung di sekitar kediaman,. Beli telor ayam, beli minyak kacang, beli daging dan sayuran, tembak burung, dan jajan di warung nasi dan bakmi di kampung yang serba sederhana.Cream Crackers yang menjadi kesukaan saya, harus beli di Shanghai, dan ini kalau kebetulan ada teman yang bertugas ke situ baru bisa menitip membelinya.

 Seingat saya, tempat2 yang telah kami kunjungi dan meninggalkan kesan yang agak dalam antara lain adalah:

 (1)Propinsi Hu Nan, kota Changsha (ibu kota propinsi), dan kampung kelahiran Mao Tjetung di Shao Shan. Makanan orang Hunan yang serba asam pedas paling cocok dengan selerah Indonesia, di setiap jamuan makan atau makanan se-hari2, tak pernah tak ada sambal Hunannya yang membikin para tamu kita. menghabiskan 3 mangkok nasi. Konon kabarnya Mao Tjetung sendiri setiap makan selalu mesti ada sambalnya. Waktu hidup serba susah karena blockade ekonomi KMT, Mao sering makan nasi atau manthou dengan cabe doang. Kayak Embah Suroh ketika jaman kanak2nya..

 (2)Propinsi Tjiang Si (Jiang Xi), Gunung Tjing Kang dan sekitarnya, dimana Mao Tjetung pernah membawa pasukan pemberontakan Tani Hunan dan mendirikan daerah basis yang pertama di Tiongkok. Tambang batu bara An Yuan dimana Liu Shao Tji pernah memimpin pemogokan buruh tambang yang terkenal. Di sebelah utara Tjiang Si terletak Gunung Lushan. Gunung tempat istirahat musim panas untuk para pembesar Kuo Min Tang dan Kung Chan Tang, KMT adalah Partai Nasional Tiongkok yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek, dan KCT adalah Partai Komunis Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tjetung. Gunung Lushan sangat sejuk, di musim panaspun harus tidur pakai selimut. Sebelum 1949, tidak ada jalan mobil untuk ke puncaknya, semua orang ditandu dengan tenaga manusia. Setelah RRT berdiri, barulah dibangun jalan mobil, dan Gunung Lushan semakin ramai, karena dibangun banyak sanatorium untuk para buruh teladan dan para pembesar sipil dan militer. Ketika perang dalam negeri periode 1931-1934, Chiang Kai Shek mendirikan sekolah militer darurat dan serba kilat, untuk melatih perwira2nya dan dipimpin oleh jenderal dari Jerman. Rumah kediaman Chiang dan Sung Mei Ling (isteri Chiang) masih diperlihara baik2 oleh RRT, sebagai monument sejarah. Begitu pula rumah kediaman Mao Tjetung, Chou En Lai dll.

 (3)Propinsi Tjiang Su (Jiang Shu), kota Shanghai, kota Wusi dan Suchou. Kota Shanghai adalah kota kelahiran Partai Komunis Tiongkok (1921), kota terbesar dan termodern di Tiongkok, Di Shanghai kita menyaksikan bekas daerah konsesi asing, yaitu daerah yang dikuasai oleh tentara asing seperti Inggeris, Perancis, Jepang dll Waktu Perang Anti Jepang, Shanghai telah menjadi daerah pertempuran dalam kota yang terbesar, dimana Tentara Route ke-19, memimpin pasukannya dengan gagah berani bertempur selama sebulan lebih. Kota Wusi yang terletak di tepi Danau Tai Hu, terkenal dengan Ayam Pengemisnya, yaitu ayam yang setelah diberi bumbu macam2, dibungkus dengan daun teratai, kemudian dibalut dengan tanah, kemudian dibakar, setelah mateng, tanahnya dipukul dengan martil, ayamnya harum semerbak dengan aroma bumbu2 yang khas, dan sari ayamnya tidak hilang karena yang dibakar cuma lapisan tanahnya. Kota Sutjou yang terkenal paling banyak wanita cantiknya disamping sulaman suteranya.

 (4)Pripinsi Shan Tung, Tji Nan (ibu kota propinsi), Tsing Tao kota pelabuhan bekas jajahan Jerman, yang terkenal dengan pabrik bir Tsing Tao..Tsing Tao banyak sekali rumah2 kuno bekas milik orang Jerman, letaknya di tepi pantai laut. Ketika itu rumah2 tersebut dijadikan tempat peristirahatan para pembesar tinggi RRT. Karena Tsingtao menghasilkan banyak ikan dan udang, maka hampir setiap hari kami dihidangkan seafood yang direbus, dikukus, digoreng, diungkep, dibumbu asem manis, dipanggang, dibikin sup, dlsb…..

 (5)Propinsi He Nan, kota Tjeng Tjou (ibukota propinsi), kota Lan Kao yang terkenal dengan sekertaris teladan Tjiau Yi Lu. Di kota Lankao, untuk pertama kalinya kami dihidangkan daun kemangi sebagai lalap, maka Mang Nungcun segera minta bibitnya, kemudian kami bawa ke kampung Indonesia untuk ditanam, untuk dibikin campuran bumbu keredok Jawa Barat dan pepes ikan. Propinsi He Nan terkenal sebagai pripinsi yang paling banyak banjir dalam sejarah 5000 tahun Tiongkok, Sungai Kuning, sungai nomer2 Tiongkok, membagi , propinsi ini menjadi dua bagian, setiap banjir selalu menghasilkan banyak pengungsi yang merantau ke selatan, ke Tjiang Si, Fu Kien dan Kwang Tung, pengungsi2 ini terkenal dengan sebutan suku Hakka yang banyak bermukim di Indonesia, di Kalbar, Bangka, Belitung dan Jawa. Leluhur penulis sendiri juga termasuk suku Hakka dari Tjiang Si (kota Nan Chang). Selama 12 tahun di RRT, saya menghabiskan 7 tahun lamanya tinggal di Nanchang, kota leluhur saya hidup selama 5 turunan itu. Mengapa termasuk suku Hakka (suku pendatang), karena sebelum di Nanchang, leluhur saya dahulu kalanya berasal dari Propinsi Se Tjwan, propinsi tempat kelahiran Teng Siao Ping.

 (6)Propinsi San Si, kota Si An, terkenal dengan Peristiwa Si An 1936, dimana Chiang Kai Sek pernah ditawan oleh Tjang Sue Liang. Kota Yen An, dimana PKT membuka daerah basis tama ketika perang anti Jepang 1937-1945. Kota Si An adalah kota kuno yang pernah dijadikan ibukota kerajaan Chin, Han, dan Tang. Banyak monumen2 kuno yang dapat kita lihat di situ. Kota Yen An, kami khusus meninjau rumah goa yang menjadi tempat tinggal Tentara Route ke-8 yang dipimpin oleh Mao Tjetung dan Chu Te ketika Perang Anti Jepang. Rumah2 Goa ini paling aman dari serangan pesawat terbang musuh, dari serangan angin dingin Siberia dan agak sejuk ketika musim panas.

 (7)Propinsi Liao Ning, Shen Yang (ibu kota propinsi) dan Ta Lien, bekas jajahan Russia dan Jepang. Shen Yang adalah bekas ibu kota lama Kerajaan Manching, masih diperlihara baik2 istana2 kunonya. Ta Lien yang masih memiliki gedung2 antik bekas peninggalan Russia.

 (8)Propinsi Kwangtung dan Kwangsi, peninjauan ke Canton dan Kui Lin. Canton atau sekarang lebih dikenal dengan nama Guang Zhou adalah pintu gerbang selatan Tiongkok, yang terkenal dengan sungai Mutiaranya yang mengalir di tengah kota. Kui Lin adalah kota turis bertaraf nasional yang tersohor keindahan alam gunung gemunungnya yang beraneka ragam dan corak, serta keindahan alam goa2 dalam gunung2 tersebut. (9)Propinsi Hu Bei, Wu Han (ibu kota propinsi). Kota dimana meletus tembakan pertama dari Pemberontakan Nasional Tiongkok 1911 yang dipimpin oleh Dr Sun Yat Sen, yang akhirnya telah berhasil menggulingkan Dinasti Man Ching, yang terkenal dengan kaizar terakhirnya yang bernama Pu Yi. (Film The Last Emperor)

 (10)Propinsi Shan Si, Tai Yuan (ibukota propinsi), Ta Tjai, desa pertanian teladan yang serba fantastis. Seluruh Tiongkok oleh Mao Tjetung diperintahkan untuk belajar kepada Ta Tjai dan Ta Ching. Ta Tjai untuk pertanian, dan Ta Ching untuk industri. Namun, seperti yang kita ketahui, semakin belajar, pertanian dan industri Tiongkok semakin merosot, akhirnya perekonomian Tiongkok terpuruk, morat marit sampai ditepi jurang kehancuran total. Baru setelah Teng Siao Ping menjalankan politik Gai Ge Kai Fang (Reformasi dan Keterbukaan), yang menghapuskan gerakan belajar kepada Ta Tjai dan Ching itu, Tiongkok telah mengalami kemajuan yang sangat pesat di bidang pertanian dan industrinya, seperti yang kita saksikan dewasa ini. Di Ta Tjai, kami bertemu dengan Chen Yung Kui, petani teladan yang diorbitkan jadi Wakil Perdana Menteri oleh Mao Tjetung. Setelah Mao meninggal dunia, Chen disuruh pulang kampung untuk bercocok tanam kembali sebagai petani biasa.

 Setiap peninjauan, kami pasti bermalam di Hotel atau guest house yang top ketika itu, makanannya juga serba istimewa, naik kereta api, bis yang lux, atau mobil jeep,. Untuk daerah2 yang lalu lintasnya masih kurang begitu bagus.

 Dalam perjalanan juga diatur pergi ke Toko Persahabatan, dimana terjual barang2 kebutuhan se-hari2. yang tidak terjual di toko2 untuk rakyat biasa Toko Persahabatan hanya dibuka untuk para tamu asing dan pejabat tinggi pemerintah. Saya pernah ditolak masuk, karena muka Tionghoa saya, yang disangka rakyat Tiongkok biasa.

 Hampir di setiap kota yang kami kunjungi, selalu diadakan Malam Kesenian untuk menyambut tamu2 dari Indonesia ini. Disuguhi acara2 kesenian daerah dan nasional Tiongkok yang sangat kental bau revolusinya, maklum ketika itu adalah periode RBKP (1966-1976), dimana politik sebagai panglima, dan se-gala2nya harus mengabdi kepada sabda Mao Tjetung, harus sesuai dengan Fikiran Mao Tjetung, fikiran yang dijelujuri tentang revolusi seumur hidup. Fikiran yang menanamkan, setiap detik, setiap menit, setiap hari, tidak boleh melupakan perjuangan klas, harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan untuk menghancurleburkan serangan2 musuh dari luar dan dari dalam.

 Dan setiap ada acara kesenian, tamu2 Indonesiapun diminta untuk tampil menyumbangkan satu dua acara, entah nyanyian tunggal atau paduan suara, dimana kami selalu tampil dengan lagu2 Indonesia dan lagu2 puji2an kepada Mao Tjetung yang sedang ngetop ketika itu. Semua penonton menyambut acara kami dengan tepuk tangan panjang yang gemuruh, melihat tamu asingnya yang menyanyikan lagu Hidup Ketua Mao dengan fasih. Apalagi ketika ada yang menyanyikan lagu opera Peking, yang paling sukar dinyanyikan oleh orang asing, karena melodinya memiliki kekhususan yang beda dengan melodi lagu Barat atau Indonesia yang kita sering nyanyikan, semua ter-heran2. Persis seperti kita menonton orang Bule menyanyikan lagu Keraton Jawa atau lagu Parahyangan Sunda..

 Pendek kata, acara peninjauan setiap musim panas adalah hiburan yang paling nikmat buat para tamu asing yang untuk sementara terpaksa kecantol di RRT. Tinggal di Hotel yang lux, makan enak, pesiar cuci mata, shopping di toko persahabatan yang banyak barang2nya tidak terjual untuk umum, dan nyanyi/menari diatas panggung kesenian. Yang paling ngantuk cuma kalau ada pidato panjang lebar dari tuan rumah, yang isinya sudah bisa kita duga sebelumnya.

 Cuma pada tahun 1976, ketika terjadi bencana alam terbesar di RRT, gempa bumi di kota Tang Shan yang telah menghancurkan seluruh kota, dan ratusan ribu yang mati terkubur hidup2, kami dengan inisiatif sendiri mengajukan permohonan agar acara peninjauan tahun itu dibatalkan. karena ikut prihatin atas musibah yang menimpa rakyat Tiongkok ketika itu. Juga pada tahun 1976 itu, PM Chou meninggal dunia, kemudian Ketua Kongres Rakyat Chu Te juga meninggal dunia, terakhir Ketua Mao Tjetung juga meninggal dunia. Seluruh Tiongkok sedang diliputi oleh suasana berkabung besar2an.

 Usul kami agar acara peninjauan dibatalkan, mendapat sambutan baik dari tuan rumah, memang kami harus tahu diri, tuan rumah sedang mendapat musibah besar, sedang diliputi kesedihan luarbiasa masak kita enak2an pesiar keliling Tiongkok. Kegiatan kesenian, latihan piano semuanya terhenti, ketika 3 tokoh utama RRT meninggal dunia. Terutama ketika PM Chou dan Ketua Mao meninggal dunia. Di kampung Indonesia setiap hari diputar lagu2 berkabung yang penuh dengan kesedihan. Orang2 Tiongkok di kampung semuanya memakai ban hitam di lengannya masing2, sebagai tanda berkabung, semuanya wajahnya murung, tak ada yang ketawa, tak ada senda gurau selama satu bulan lamanya.

 Musim panas tahun 1977 tidak diatur peninjauan, karena saya sendiri sedang ber-siap2 untuk meninggalkan RRT, mengajukan permohonan agar mengubah status stateless saya menjadi warganegara RRT (melalui naturalisasi), agar bisa keluar Tiongkok menuju Hong Kong..

Bersambung ke seri-11 SURAT MENYURAT DENGAN KELUARGA DI INDONESIA NYAMBUNG LAGI

TOP

Seri ke–11
SURAT MENYURAT DENGAN KELUARGA DI INDONESIA
NYAMBUNG LAGI

Oleh Thio Keng Bouw

 Tanggal 1 Oktober 1965 saya masih sempat menulis surat ke Indonesia. Setelah itu, saya tak pernah menulis lagi. Hubungan dengan keluarga di Indonesia terputus sampai 9 tahun lamanya Baru pada awal September 1974, hubungan ini nyambung lagi.

 Pada suatu pagi, saya ditanya, :”Kenalkah kau dengan TK Hong?”

 Ku diam sejenak, sambil memikirkan, siapakah gerangan TK Hong itu? Singkatan namaku adalah TKB, TKHong jangan2 singkatan nama adikku Thio Keng Hong. Lalu aku jawab dengan pasti, TK Hong pasti adikku di Indonesia.

 Setelah itu, barulah surat yang bersampul nama pengirim TK Hong dari Canada diserahkan kepadaku.

 Surat itu dialamatkan kepada Departemen Luarnegeri RRT di Peking, karena aku dulu adalah tamu negara yang resmi untuk menghadiri Perayaan hari nasional RRT 1 Oktober 1965, maka adikku menulis surat via deparlu RRT adalah paling tepat, deparlu RRT pasti tahu betul, apakah aku masih di Tiongkok atau sudah meninggalkan Tiongkok.

 Adikku baru saja tiba di Calgary, Canada, ia baru menginjak usia 20 tahun, setelah lulus SMA Negeri, atas biaya keluarga, ia beruntung bisa meneruskan studinya di Fakultas Tehnik jurusan bangunan di Calgary, Canada. Ia mendapat pesan dari keluargaku di Indonesia, agar coba cari tahu, apakah aku masih di RRT, masih sehat, dan bagaimana keadaanku di sana.

 Bukan main gembiranya hatiku, menerima surat yang pertama dari Indonesia, mengetahui bahwa seluruh keluargaku dalam keadaan sehat2 serta penghidupannya sudah jauh lebih baik ketimbang 9 tahun yang lampau. Seorang adikku sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak laki2, memiliki 2 buah apotik di Bogor. 3 adik yang kecil masih sekolah. Ibuku sehat2 dan selalu memikirkan putera sulungnya, yang tak pernah menulis surat sepucukpun selama 9 tahun ini.

 Siang itu juga saya segera membalas surat itu. Saya ceritakan secara ringkas, keadaan saya sehat2 saja, badan bertambah 10 KG beratnya, tidak kekurangan sandang pangan, setiap tahun bisa pesiar jalan2 keliling Tiongkok. Setiap hari bekerja sebagai guru bahasa Indonesia, menyanyi, piano dan akordeon. Disamping itu, juga bercocok tanam sayur mayur sebagai hobby dan olahraga, agar badan sehat walafiat. Surat ini kukirim ke Calgary., agar diteruskan ke Indonesia.

 Sebulan kemudian saya menerima surat balasan dari Indonesia, seluruh keluargaku di Indonesia merasa terharu bercampur gembira, membaca suratku yang di-tunggu2 selama 9 tahun lamanya. Terutama ibuku yang setiap hari berdoa, semoga saya selamat dan sehat2 mendapat perlindungan dari Tuhan. Kali ini surat dari Indonesia dilampiri dengan foto2 keluarga yang terbaru, tampak adikku yang bungsu, Keng Siong atau Atjong, yang ketika 1965 baru 3 tahun lebih, kini sudah 13 tahun usianya. wajahnya sudah tak kukenali lagi.

 Sungguh aneh, penyakit radang maag yang kuderita selama ini, dan selalu kumat pada setiap musim dingin, setelah hubungan surat menyurat dengan keluarga nyambung lagi, tak pernah kumat lagi selama 30 tahun terakhir ini. Karena ketika itu saya sudah memiliki harapan (kesempatan) untuk pulang ke Indonesia via Canada.

 Dari surat menyurat dengan keluarga di Indonesia, akhirnya kuketahui bahwa situasi Indonesia sudah banyak perubahan, Indonesia sudah bertambah maju perekonomiannya, taraf hidup rakyat sudah lebih baik ketimbang awal tahun 60-an. Bertambah semangat untuk pulang ke Indonesia dalam waktu tak lama lagi.

 Kusadari bahwa jalan untuk pulang masih ber-liku2, harus mempunyai plan untuk persiapan ini, harus memiliki tubuh yang sehat, ketrampilan untuk hidup berdikari di luar Tiongkok, hidup sebagai manusia normal, yang sandang pangannya dicukupi oleh keringat daki sendiri. Pekerjaan apa yang dapat saya kerjakan di luar Tiongkok? Pikir punya pikir, saya harus gunakan keahlianku sebagai juru masak, yang pernah dijuluki koki kelas satu oleh pak Abdulmadjid yang ter-gila2 sama babi kecapku di Cengkareng. Pak Abdulmadjid ini yang tadinya renggang hubungannya dengan saya, setelah makan babi kecap yang saya masak di dapur umum, terus jadi akrab lagi. Pak Sobron Aidit juga ter-gila2 sama kecap manis goncang lidah yang saya bikin di STM. Ketika itu tak ada yang namanya kecap manis di RRT, semuanya serba asin. Saya belajar mengolah kecap manis dari ibu Anfa, yang pernah membikin home industri tempe dan kecap manis ketika jaman pendudukan Jepang di Jokjakarta. Keluarga Anfa adalah keluarga yang paling akrab selama saya di RRT. Beliau seumur ibunya Li Lian di Bandung, sama2 kelahiran 1923 (shio Babi), dengan putera/puterinya Ganoto, Siwang, Latifa dan Tiana, sudah seperti saudara kandung saja akrabnya. Ketika beliau menemani Tiana yang sedang berobat di Shanghai, 3 anak2nya sedang sekolah di kota Nan Chang, kunci rumahnya di STM diserahkan kepadaku untuk aku urus. Ini berlangsung sampai 1975, dimana bu Anfa meninggal dunia karena menderita sakit kanker stadium terakhir, dan Tiana sendiri sudah sembuh sakitnya dan sedang mengkonsolidasi penyakitnya di rumah.

 Tiana, puteri bungsunya usianya 15 hari lebih tua daripada Keng Loan, adik wanitaku yang bungsu. cuma ia agak malang nasibnya, selama 9 tahun harus hidup di rumah sakit, tidak bisa bersekolah seperti anak2 sebaya umurnya. Semua dokter, termasuk dokter yang top di Shanghai sudah angkat tangan, tidak menemukan jalan untuk menyembuhkan penyakitnya. Pernah satu kali, berat tubuhnya tinggal 39 KG, praktis kulit bungkus tulang saja.

 Pada suatu hari pada tahun 1973, saya dipanggil Dokter Shen yang kita kenal sejak 1966, ia adalah dokter Tiongkok yang rajin belajar bahasa Indonesia, penyakitku juga praktis disembuhkan oleh dokter Shen ini. Dokter Shen bilang, baru2 ini ia kenal dengan Dokter Zhang (satu marga dengan saya), seorang dokter tradisionil di Tjiangsi yang hebat, telah menyembuhkan banyak penyakit aneh yang tak dapat disembuhkan oleh dokter2 Barat. Maka ia minta agar saya menulis surat kepada bu Anfa di Shanghai, agar usahakan untuk kembali ke Nanchang, akan diperkenalkan kepada dokter Zhang ini. Juga puteri bungsu bung Makin, Yeni, yang terus menerus melewati usianya di rumah sakit, dianjurkan untuk berobat kepada Dokter Zhang ini. Ibu Anfa menerima usul Dokter Shen, karena toh dokter2 di Shanghai bilang, di dunia kedokteran Barat, belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Tiana. Betul2 ajaib, dokter tradisionil yang cuma belajar ilmu kedokteran kepada ayahnya, akhirnya telah menyembuhkan penyakit aneh dari Tiana dan Yeni, hanya dengan tusuk jarum dan makan obat ramuan (jamu godok) tradisionil resep turunan.

 Ibu Anfa ahli bikin kecap dan tempe, ia bisa menghidupi keluarganya pada jaman Jepang (1942-1945). Di RRT kita bisa makan tempe dan kecap manis, berkat resep ibu Anfa yang diajarkan kepada koki Tiongkok. Oleh saya kecap manisnya itu, diolah lagi dengan daya ciptaku. Aku paling suka jajan ketoprak Jakarta ketika di Indonesia, Yaitu tahu goreng, taoge rebus dan bihun yang diberi bumbu kecapmanis, cabe rawit, bawang putih dan kacang tanah goreng yang diulek. Di RRT dimana kita bisa jajan ketoprak? Disinilah saya coba mengolah kecap manis bu Anfa, ditambah bawang putih, cabe rawit, berambang goreng dan asam cuka. Kemudian aku masuki kedalam botol kecap, kuberikan kepada sahabat karibku Mas Sobron. Dia betul2 ter-gila2 sama kecap manis goncang lidah ini. Kukatakan, kalau ditambah kacang goreng yang diulek halus akan lebih sedap lagi, apalagi jika di siram ke atas tahu goreng dan taoge rebus. Di RRT kami belum pernah ketemu dengan apa yang dinamakan bihun, entah kenapa bihun lenyap dari pasaran selama jaman RBKP ini..

 Keluarga Anfa dan keluarga Sobron sangat akrab hubungannya, maklum suami bu Anfa, pak Rumambi Sitepu dan mas Sobron sama2 orang Lekra, sama2 guru Bahasa Indonesia di Peking pada tahun 1965. terus tinggal dalam satu asrama selama bermukim di Tiongkok. Pak Rumambi meninggal dunia pada 1971 karena sakit kanker lever stadium terakhir pula.

 Saya dan Sobron sering jalan kaki mendaki bukit sehabis makan siang. Sambil jalan2 sambil ngobrol uplek ngalor ngidul. Ia setuju dengan rencanaku untuk keluar Tiongkok, hidup sebagai manusia normal kembali, yang tanpa bantuan jawatan sosial seperti selama ini di RRT. Katanya, akupun jika ada kesempatan, tekanan darah tinggi yang kuderita sejak kecil sudah agak stabil, akupun akan meninggalkan RRT, hidup diluarnegeri dengan keringat dakiku sendiri. Sungguh tak kuduga, akhir2nya ia ke Paris dan hidup sebagai pengelola resto Indonesia. Dan aku ke Hong Kong sebagai guru piano. Kami berdua mempunyai jiwa seniman yang kental, sama2 mendambakan kebebasan untuk hidup sebagai manusia normal, bukan sebagai tamu agung, yang tidak ada kebebasan mencipta, tak ada kebebasan surat menyurat, tak ada kebebasan bepergian, tak ada kebebasan bergaul dengan manusia di sekeliling. Tak ada kebebasan untuk pacaran dan menikah dgn gadis Tiongkok. Semua serba dilarang dan serba diatur oleh disiplin kepala kampung yang irasionil.

 Manusia tak cukup dengan sandang pangan, rumah tinggal dan pesiar saja (Yi Shi Zhu Xing). Apalagi manusia yang namanya seniman, yang membutuhkan kebebasan berfikir, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan, kebebasan surat menyurat. kebebasan berkarya, kebebasan memilih rumah tinggal, kebebasan memilih pekerjaan, kebebasan bepergian ke toko, ke kota2 lain, kebebasan jalan2 ke tempat yang disukai, kebebasan memiliki kota kediaman, kebebasan bergaul dengan siapapun yang disenangi. Kesemuanya ini tidak bisa kita peroleh dalam sebuah Negara seperti RRT yang ketika jaman RBKP itu menjalankan diktatur proletariat, yang menjadikan perjuangan klas sebagai poros, yang menindas semua manusia yang digolongkan sebagai klas musuh, termasuk pahlawan nasional yang berbeda pendapat dengan Mao Tjetung. Manusia di RRT ketika itu banyak yang terpaksa berbicara hati2, tidak berani mengucapkan apa yang difikirkan, takut tiba2 divonis sebagai musuh klas dan dibuang ke kamp kerja paksa. Sebagai tamu Negara., meskipun tuan rumah memperlakukan kami dengan baik sekali, tapi suasana RBKP menulari fikiran kepala kampung Indonesia, membikin sebuah masyarakat Utopi yang serba aneh. Yang membikin peraturan2 yang mengikat fikiran dan kaki tangan kita.

Gerakan Surtem dan Surtemwan
membikin meriah kampung Indonesia
GERAKAN MENGKRITIK
KESALAHAN DELEGASI CC PKI


 Semenjak hubungan surat menyurat dengan keluarga nyambung lagi, mulailah aku giat belajar masak, giat kerja di ladang untuk kesehatan badan dan melatih kerja susah payah sebagai persiapan mutlak buat orang yang mau hidup berdikari kelak di Negara Barat. Saya, Uran dan Li Wei La (Liberal) membuka ladang pribadi , jalan yang sudah dirintis oleh Uran sejak masuk di STM. Uran banyak membuka fikiranku tentang masyarakat yang abnormal di kampung Indonesia ini. Ia juga sebagai pendobrak pertama, larangan tak boleh bergaul dengan petani Tiongkok di sekeliling kampung Indonesia, dialah yang memelopori lilor (beli telor langsung kepada petani) yang dilarang oleh undang2 RRT ketika itu., ialah yang memelopori tembur (tembak burung), yang akhirnya diikuti oleh banyak orang, ia juga yang mengejutkan semua orang di kantin, ketika makan sore, di mana ia memantek paku di atas papan tulis pengumuman, kemudian menulis dengan kapur tulis pengumuman pribadinya: HAR IN TA DA DJA DAN DI LAD. (hari ini tak ada kerdja badan di ladang) SA MA MAKDIRUM (saya mau makan di rumah). Semua orang terpaksa membaca surat pengumumannya itu, karena didahului oleh suara keras paku dipantek di atas papan tulis.

 Semua orang kagum juga akan keberanian Uran untuk mendobrak peraturan2 disiplin yang irasionil. Tapi memang keberanian ini sangat dibutuhkan bagitu setiap orang yang kelak mau hidup sebagai manusia normal di masyarakat yang normal. Uran juga menciptakan banyak singkatan2 melalui surtemnya di kampung Indonesia, yang dengan berani menyingkap segala yang abnormal yang terjadi dalam desa kita itu. Gerakan surtem (surat tempelan berhuruf besar) dan Tikcepao (Koran dinding yang diketik) adalah gerakan yang dipelopori oleh M. Sukrisna, yang akhirnya dibayar oleh pemecatan dirinya dari anggota PKI dan diusir dari Tiongkok sebagai persona non grata. Memang ada kesalahan Sukrisna yang fatal, dia terlalu berani, tapi tidak mau mendengarkan nasihat saya dan pak Sukrisno(mantan dubes RI utk Rumania dan Vietnam). Boleh mengkritik kepala kampung Indonesia, tapi jangan nyerempet tuan rumah, karena ini adalah etika hubungan tuan rumah dengan tamu. Ia menjawab: Mao Tjetung boleh mengkritik Stalin, kenapa saya tidak boleh mengkritik Tiongkok? Kami (saya dan pak Krisno) menasihati dia lagi:”jangan kau tiru contoh yang seperti ini, sangat beda situasi kongkritnya. Mao ketika itu di Tiongkok, Stalin di Uni Sovyet. Mao memiliki tentara dan sudah menduduki separo wilayah Tiongkok. Kau, Sukrisna tak punya apa2, hidup sebagai tamu agung yang terhormat dan serba dicukupi kebutuhan sandang pangan, rumah tinggal dan kesempatan pesiarnya.” Pak Krisno menambahkan lagi: “Jika kau tak mau mendengar nasihat kami, pada suatu hari kau akan dipersona non grata, ini menurut pengetahuan saya terhadap hukum internasional yang berlaku.”.

KORAN DINDING MELAWAN ARUS


 Saya ikut aktif dalam gerakan surtem ini. Tiap minggu sekali menerbitkan majalah Koran dinding MELAWAN ARUS, yang isinya mengkritik kesalahan delegasi CC PKI yang dikepalai oleh Joesoef Adjitorop (wakil Sekjen PKI, orang kuat no. 6 dalam Polit Biro CC PKI setelah Aidit, Lukman. Njoto, Sudisman dan Sakirman yang semuanya sudah dibunuh pada 1966-1967)). Kesalahan pokoknya adalah main jiplak pengalaman Revolusi Kebudayaan yang digerakkan oleh Mao Tjetung di Tiongkok, mengagitasi agar anggota PKI di luarnegeri berontak melawan pimpinan, akhirnya barisan PKI di luarnegeri hancur berantakan ber-keping2 menjadi puluhan faksi besar dan kecil. Kemudian menerbitkan majalah SUARA RAKYAT INDONESIA di Tiongkok, yang secara idealis subjektif, tanpa riset langsung di tengah2 masyarakat Indonesia, membuat artikel2 yang ngawur, yang kemungkinan besar jadi racun, kayak racun dogmatisme Wang Ming di Moskow ketika tahun 30an di Tiongkok..

 Saya usulkan agar diadakan MUSYAWARAH BESAR agar barisan Indonesia di larnegeri yang pecah ber-keping2 ini dapat dipersatukan kembali, se-kurangnya sebagian besar bisa dipersatukan kembali. Tapi usul saya ditolak mentah2, bahkan saya diganyang membikin gaduh ketenteraman orang2 Indonesia di RRT.. Setelah Joesoef Adjitorop diterima Hua Kuo Feng di Tian An Men, kesombongan dirinya dan pengikutnya yg fanatic semakin men-jadi2. Memang Pendirian. Pandangan dan Metode PKI dgn Mao Tjetung waktu RBKP adalah setali tiga uang, dengan Hua Kuo Feng yang melontarkan teori DUA ASAL (Liang Ge Fan Shi) juga setali tiga uang. Teori dua asal adalah, “Asal yang ditulis oleh ketua Mao, harus dilaksanakan tanpa reserve, asal yang diucapkan oleh Ketua Mao, harus dilaksanakan tanpa reserve”

 Saya usulkan agar SUARA RAKYAT INDONESIA ditutup, kalau mau terbit, harus diterbitkan di Indonesia. Para pengikut Joesoef marah sekali kepada usul saya itu, terutama Ibrahim Isa yang menjadi sekretaris pribadi Joesoef Adjitorop. Dia bilang”Mengapa bung Thio berkeberatan kami memblejeti Rezim fasis Suharto melalui majalah SRI?” Saya jawab, menurut metode Marxis, TANPA RISET TAK BERHAK BERBICARA, terutama riset langsung ke tengah massa rakyat yang luas di Indonesia, jangan cuma riset di tengah2 120 orang Indonesia di RRT. Inilah gebrakan perdebatan antara saya dgn Ibrahim Isa, yang pada 2002 dilanjutkan dalam milllis HKSIS..

 Ya para surtemwan (penulis surat tempelan berhuruf besar) ini memang tak punya organisasi, tak punya disiplin kelompok, semuanya bersifat perseorangan untuk menyatakan ketidak puasan terhadap bapak kepala kampung Indonesia (baca: Delegasi CC PKI di Luar Negeri) ini melalui surtem. Setelah berlangsung setengah tahun lamanya, semua surtem di kantin di robek2 oleh pak Mamat (orang tertua di kampung itu) dan Ruslan (anak kecil berusia dua belas tahun). Kemudian, hari keduanya, 8 April 1977, telah diadakan rapat umum pengganyangan terhadap tujuh surtemwan yang dianggap sebagai pembangkang yang liberal, berani menulis isi perut kepala kampung Indonesia secara terbuka akhirnya membikin malu orang Indonesia di muka tuan rumah Tiongkok. Rapat ini dihadiri oleh semua orang Indonesia, tua dan muda, termasuk para mahasiswa dan pelajar yang khusus diliburkan sekolahnya untuk membikin rapat umum menjadi meriah dan mendapat dukungan mayoritas mutlak. Segelintir surtemwan dijadikan bulan2an, dicaci maki habis2an, baik oleh pimpinan rapat, pembicara utama rapat umum, maupun oleh jel2 “hidup PKI!”. “ganyang oknum anti Partai!” dlsb yang diteriakkan oleh beberapa mahasiswa yang sudah diindoktrinasi otaknya oleh Oom2 dan Tante2nya. Suasana rapat sangat tegang, saya duduk berdampingan dengan pak Sukrisno (mantan Dubes RI di Romania kemudian Vietnam), yang terus menerus menasihati agar saya sabar, jangan terprovokasi. Semua surtemwan cuma senyum2 saja menerima pengganyangan ini, karena tahu mereka tidak berani melakukan perjuangan fisik selama hidup sebagai tamu di luarnegeri. Dan kitapun sudah merasa menang, karena selama setengah tahun kita yang “maki2” pimpinan PKI di luarnegeri, hari ini cuma dua jam saja Delegasi CC PKI membalas semua “makian” kita itu, demikian kesimpulan para surtemwan. Rapat bubar, dan semua orang hatinya sama2 puas, baik yang mengganyang maupun yang diganyang. Sampai di rumah semua surtemwan tertawa ter-bahak2. Melihat sandiwara lucu dari Delegasi dan para pengikut setianya. Karena mereka tidak mampu menjawab begitu banyak pertanyaan2 dan kritik pedas dari surtemwan, Cuma bisa maki2 dan mengatakan cara mengkritik diluar rapat tertutup di dalam kamar adalah cara yang salah. Yang dipersoalkan adalah metode mengkritik, tapi tidak sedikitpun menanggapi isi kritik2 para surtemwan.

 Besoknya, 9 April 1977, saya TKB (PPI), Suparna (Sobsi), Bambang (mahasiswa) dan Suhaimi (Partindo) berempat menghadap kepala kampung Indonesia, ramai2 menyatakan minta secepatnya diatur keluar Tiongkok dengan tanggungjawab masing2, permintaan ini segera dipenuhi. Karena kehadiran surtemwan di sini cuma membikin tambah botak Delegasi CC PKI saja. Dan kami merasa hidup di kampung Indonesia ini hanya mem-buang2 waktu yang sangat berharga.

Bersambung ke seri-12: SAYONARA STM ! SAYONARA PETANI MODERN ! . .

TOP

Seri ke 12
SAYONARA STM! SAYONARA TIONGKOK DARATAN!
Oleh Thio Keng Bouw

 STM (Sekolah Tujuh Mei) adalah masyarakat buatan yang serba aneh, yang tak ada keduanya di dunia yang normal. Agar kembali menjadi manusia normal, hidup dalam masyarakat yang normal, hidup dari keringat daki sendiri, saya putuskan mengucapkan selamat tinggal kepada STM, dan juga mengucapkan selamat tinggal kepada Tiongkok daratan, pergi ke Hong Kong yang memberikan saya kebebasan untuk memilih tempat tinggal, kebebasan memilih pekerjaan, kebebasan surat menyurat, kebebasan bepergian, bertamasya kemana saja yang kita sukai, kebebasan membaca buku2 dan majalah yang saya butuhkan., kebebasan bergaul dengan ber-macam2 jenis manusia di seluruh peloksok dunia.

 Ayah saya menulis surat, agar saya menangguhkan rencana saya, sampai beliau mempunyai kemampuan mengirim bantuan ekonomi, seandainya saya menemui kesulitan hidup di luar Indonesia. Sebab untuk membeayai adik saya Keng Hong di Canada mereka sudah agak empas empis, sampai akhirnya adik saya melakukan pelanggaran hukum mahasiswa luarnegeri di Canada, diam2 bekerja sebagai supir di sebuah restoran. Kerja gelap yang melanggar hukum ini akhirnya dilaporkan oleh seorang mahasiswa Hongkong, Keng Hong diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman denda, semua penghasilan ketika menjadi supir itu habis untuk membayar denda. Akhirnya merantau ke USA, sebelum studinya selesai.

 Saya menulis surat kepada ayahku, kepergian saya ke Hong Kong sudah tak bisa di tunda2 lagi, saya sudah siap menghadapi seribu satu kesulitan di sana, sebab ini satu2nya jalan agar saya memperoleh kebebasan untuk bekerja sebagai manusia normal, menerima upah menurut kemampuan saya. Dan selama puluhan tahun hidup di Hong Kong, saya memperoleh kesimpulan, bahwa keputusan saya meninggalkan STM dan Daratan Tiongkok adalah tepat, akhirnya penghidupan saya di Hongkong jauh lebih baik ketimbang penghidupan saya sebagai tamu Negara di RRT.

 Setelah ber-tahun2 menjadi manusia yang hidup dalam lingkaran abnormal, ketika tiba di Guangzhou menjelang ke Hong Kong, saya menjadi agak kikuk. Betul2 kaya orang udik yang masuk ke kota. Ramainya lalu lintas di kota besar, ramainya sepeda dan mobil berseliweran, membuat mata saya agak ber-kunang2 karena sudah tak terbiasakan lagi. Untuk ini saja, saya setiap hari putar kayun di kota Guangzhou, agar menyesuaikan diri dengan penghidupan di kota besar, dan saya pikir, Hongkong tentunya lebih hiruk pikuk lagi kehidupannya. Selama 12 tahun lebih di RRT, saya berhasil menabung l.k. 800 Yen. Tapi uang itu tidak dapat ditukarkan dengan Hongkong Dollar, harus dihabiskan di RRT, saya cuma boleh membawa 10 Hongkong dollar saja. Akhirnya, 450 Yen saya habiskan untuk membeli akordeon baru merek Parrot, saya rencanakan menggunakan akordeon milik pribadi ini, untuk mencari nafkah di Hongkong, kalau terpaksa, ya main akordeon sambil menyanyi di tempat2 yang ramai, mohon belas kasihan dari para dermawan untuk memberi sedekah, seperti yang pernah saya saksikan dalam film2 Barat ketika masih di Indonesia. Kemudian sisanya saya habiskan untuk beli pakaian baru, sepatu baru, dan oleh2 untuk kakak misan saya saya di Hong Kong, Yung Hian dan Yung Hoa di Hong Kong. Mereka berdua pada tahun 1972 dan 1975 sudah menetap di Hong Kong.

 Untung tuan rumah betul2 bermurah hati, 3 hari sebelum saya ke Hong Kong, saya dibekali uang 1000 Hong Kong Dollar, agar saya bisa hidup sederhana selama 2 bulan, sebelum mendapat pekerjaan di Hong Kong.

 Selama 12 tahun di RRT, saya mendapat perlakuan yang baik dari tuan rumah, meskipun banyak kebebasan pribadi dicabut atau dibatasi, tapi memang begitulah sistim asylum politik di RRT, kita mau tak mau harus menerima kenyataan yang tidak enak ini. Tapi tidak dapat saya lupakan se-lama2nya, saya mendapat kesempatan latihan piano, mengajar piano, bercocok tanam, memelihara babi, memikul pupuk kotoran manusia, semuanya sangat berguna untuk hidup di Hong Kong. Menggembleng saya menjadi tidak takut kotor, tidak takut kerja berat, tidak takut kesulitan., berusaha hidup dari keringat daki sendiri, tidak hidup dari uang tunjangan social lagi.

 Kemudian saya memperoleh kesempatan belajar Marxisme-Leninisme-Fikiran Mao Tjetung, belajar sejarah dunia, belajar sejarah Tiongkok, belajar sejarah Gerakan Komunis Internasional. Karena saya belajar dengan sungguh2 dan menggunakan otak sendiri, tidak membebek dan menelan mentah2 apa yang ditulis dalam karya2 ML-FMTT, sesuai dengan pesan guru filsafat saya seorang veteran Perang Korea yang wanti2 memesan, jangan dogmatis, jangan dogmatis, yang penting adalah mencengkam Pendirian, Pandangan dan Metode Marxis. Yang lain2nya boleh dilupakan. Pesan wanti2 guru saya ini betul2 saya jalankan, akhirnya saya menjadi revisionis, karena berani menyingkap kesalahan2 dari guru besar proletariat Marx-Lenin dan Mao Tjetung. Mereka itu sebetulnya cuma manusia2 biasa saja yang tidak terlepas dari kesalahan2 yang serius dalam hidupnya. Saya juga bisa menyimpulkan kesalahan2 serius dari PKI dan Presiden Sukarno selama 1951-1965, khususnya pada 1959 s/d 1965, yang kesalahan tersebut telah dibayar dengan hancurnya PKI dan dicopotnya jabatan Presiden RI oleh sidang MPRS. Pada tahun 1967. Semuanya berdasarkan kesempatan saya belajar di RRT, yang banyak membaca tulisan2 Aidit, pidato2 Sukarno, kemudian dipadukan dengan studi terhadap sejarah nasional Indonesia, khususnya sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 1945.

 Guru filsafat saya pesan wanti2 agar saya jangan dogmatis, jangan dogmatis. Maka pesan diapun saya revisi, tidak saya telan bulat2. Artinya sayapun harus menjadikan pesan guru filsafat ini sebagai dogma mati yang tak boleh direvisi. Karena diapun manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kesalahan. Masalah pendirian Marxis agar berpegang teguh kepada pendirian proletariat, saya revisi menjadi pendirian humanisme universal. Sebab saya berpendapat, proletariat cuma mewakili minoritas dalam rakyat luas, paling banter cuma 10% saja untuk di Indonesia Kesalahan PKI sampai membikin partainya hancur justeru karena PKI tidak berpandangan humanisme universil, bahkan mengganyangnya habis2an, Manikebu diganyang sampai akhirnya dibubarkan Siapa saja yang berjuang untuk kepentingan sebagian kecil manusia, niscaya akan menemui kegagalan total. Inilah inti pokok kesalahan PKI yang sampai hari ini masih ada orang yang masih belum menyadarinya. Tapi tidak apalah, memang tidak bisa mempersalahkan mereka, karena memang yang paling sulit dalam dunia ini adalah mengenal kesalahan diri sendiri, paling gampang mencari kesalahan orang lain. Cuma kasihan, sudah hancur lebur, masih terus me-nyalah2kan orang lain, tidak sadar bahwa pimpinan sudah melakukan kesalahan serius yang fatal. Mudah2an melalui GPF kedua di tempat permukiman mereka yang baru, akhirnya mereka bisa menggunakan metode berfikir yang tepat untuk menyimpulkan pengalaman sejarah. Indonesia

 Pandangan MDH, bertolak dari kenyataan untuk mencari kebenaran, akhirnya menjadi bertolak dari otak para guru besar untuk menjadi juru selamat. Yang ditelurkan adalah gagasan2 yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang idealis, karena PENDIRIAN mereka sudah salah.

 Metode riset yang seharusnya meriset kenyataan kongkrit dalam masyarakat, akhirnya menjadi riset melalui buku teori para guru besar proletariat, membuat kesimpulan dahulu, kemudian dikawin-paksakan dengan keadaan yang kongkrit, maka garis politik yang ditelurkan semuanya menjadi salah, membawa kerugian buat nusa dan bangsa.

 Gerakan Pembetulan Fikiran yang dilangsungkan di STM pada 1971-1973, telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar filsafat, metode berfikir yang tepat untuk mengenal dunia. Mengenai sejarah, menyimpulkan dunia, menyimpulkan sejarah. Saya harus mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada tuan rumah, yang memberikan kesempatan saya belajar karya2 klasik Marxis, terutama karya2 Sukarno dan DN Aidit, sesuatu yang tidak pernah saya temukan di Hong Kong selama 26 tahun ini. Di Indonesia, karena tenggelam pada kesibukan mencari nafkah, kesibukan mengurus rombongan kesenian, kesibukan berlatih piano, praktis tidak ada kesempatan yang berarti untuk mempelajari secara intensif kesemuanya ini. Akhirnya menjadi golongan ikut2an yang menganggap Manipol Usdek adalah satu2nya yang dapat menyelamatkan Indonesia dari kemiskinan. Seingat saya, Gerakan Pembetulan Fikiran ini memang diadakan atas anjuran tuan rumah, agar orang2 Indonesia yang sementara hidup jadi tamu Negara di RRT, bisa sungguh2 menarik pelajaran yang berharga dari peristiwa G30S yang membikin mereka nyangkut di luar negeri.

 Nah saya akhiri sampai disini dahulu, SUKA DUKA DI RRT (1965-1977), agar menjadi pengetahuan sejarah buat teman2 lama dan teman2 baru saya di seluruh dunia apa saja yang saya lakukan di RRT selama 12 tahun 3 bulan itu. Saya menunggu tanggapan atas tulisan saya ini. Karena terbatasnya waktu, dan pertimbangan2 tertentu, masih banyak yang belum sempat saya kemukakan dan tulis, semoga kelak bisa disusul dengan cerita2 lainnya yang lebih menarik.

TOP

本帖最後由 rainbow 於 2014-5-8 00:07 編輯

RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Guru Musik Thio Keng Bouw


 Thio Keng Bouw dilahirkan di Jakarta pada tahun 1938. Tahun 1943 masuk SD Sin Hoa Jakarta. Tahun 1951 SMP s/d SMA kelas 2 di Pa Tsung, Jakarta. Tahun 1957 SMA kelas 3 di SMA KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Jakarta. Tahun 1958 lulus ujian SMA Negeri bagian C. Kemudian pada tahun itu juga, melanjutkan studi ke Fakultas Hukum, Universitas Katholik Parahiyangan, Bandung.

 Pada 1961-1962 belajar piano kepada guru piano kelahiran Hongaria Becalel di Bandung, kemudian pada 1962-1965 mendalami musik Piano dan komposisi di Akademi Musik Cornel Simanjuntak Bandung, salah seorang gurunya antara lain adalah Pianis/ Komponis Sudharnoto, pencipta lagu Garuda Pancasila. Hasil belajar kepada Sudharnoto, Thio telah menciptakan hampir 100 lagu2 Indonesia dan Tiongkok, diantaranya yg disukainya adalah: "Ubah Duka Derita Menjadi Kekuatan", "Berlayar", "Kapal Persahabatan Indonesia Tiongkok", "Senandung Persahabatan", "Rindu", "Nostalgy Alumni", "I Love Hongkong", lagu kanak2 seperti : "Ke Sekolah", "Mari Berolahraga", "Mari Bersenam", "Naik Gunung", "Menanam Bunga", "Aku Supir Mobil", "Membersihkan Ruang Kelas", dll.

 Mulai aktif di bidang kesenian sejak di bangku SMA, mendirikan Ansambel Tari dan Nyanyi PPI (Permusjawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta dan Bandung, antara 1957-1965 memimpin Ansambel tari dan Nyanyi melakukan pertunjukan keliling di 50 lebih kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Mulai mengajar menyanyi pada tahun 1959, di Sekolah Baperki. Kemudian 1960-1965, menjadi guru menyanyi, bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia dan Ilmu Bumi Indonesia di Sekolah Sin Chung, Bandung. Mulai mengajar piano sebagai asisten dosen piano pada 1962 di Akademi Musik Cornel Simanjuntak.

 Di Tiongkok pada 1966-1977, di kampung perantau Indonesia menjabat Ketua Kebora (Kebudayaan dan Olahraga) mengajar piano, akordeon, membentuk paduan suara, tari2an, musik band dan grup deklamasi sajak, dan kegiatan olahraga, sering mengadakan pertunjukan Tari & Nyanyi, Deklamasi dan Drama, untuk menghibur masyarakat Indonesia di sana, maupun pertunjukan bersama dengan Grup Kesenian Tiongkok.

 Sejak 1978 bermukim di Hongkong, mengajar piano, keyboard, dan teori musik, murid2 pianonya banyak yang ikut ujian piano yang diselenggarakan oleh The Royal School Of Music (London) dengan angka Merit dan Distinction.

 Sejak 1990 mendalami Computer Music (One Man Orchestra). Lagu2 yang digubah dengan computer antaranya:

 Rayuan Pulau Kelapa, Bagimu Negeri, Dari Sabang Sampai Merauke, Garuda Pancasila, Kibarkanlah Benderaku , Bengawan Solo, Satu Nusa Satu Bangsa, Maju Tak Gentar, Hallo2 Bandung, Selendang Sutera, Pahlawan Bangsa, Genjer2, Bandung Selatan Di Waktu Malam, Na Sonang, Leleng, Erkata Bedil, Lisoi, O Ina Keke, Keroncong Kemayoran, Sing Sing So, Butet, Burung Kakatua, Sarinande, Papaya Chacha, The Skaters Waltz, Ode To Mother Land, Rindu, I Love Hong Kong, Nostalgy Alumni, Carmen, Torna A Surriento, Love Story, Flower Song, Turkische March, Chiribiribin, La Paloma, O Sole Mio, Santa Lucia, Hooked On Classic, Great Wall Moscow Night, Kathusya, Troika, Mattinata, Bandar Jakarta, Song Of The Beach, Beautiful Dreamer, La Spagnola, Siboney, Besame Mucho, Amor, Brazil, O Mio Babino Caro, La Spagnola, El Condor Pasa, Long De Chuan Ren dll 100 lebih lagu. Sebagian besar dari lagu2 tersebut sudah direkam menjadi CD untuk para murid dan sahabat2nya di Indonesia, Tiongkok, Eropa, Amerika, Canada dan Hongkong sendiri.

 Di Hong Kong sering mengadakan pertunjukan Musik, di Perkumpulan2 Alumni Tionghoa kelahiran Indonesia dan KJRI. Setiap tahun menyelenggarakan konser piano/keyboard muridnya sendiri, yang dihadiri oleh para orang tua murid dan para undangan lainnya.

 Salah seorang muridnya yang sukses kariernya adalah Alex Fung ( lahir pada 1979, anak angkatnya), pada tahun 2001 lulus dgn Honoris Causa di Sekolah Musik Berkeley, Boston, USA. Kini bekerja sebagai pianis, keyboardis, komponis, aransemenis dan produser lagu2 Pop Hongkong, penggubah lagu2 pops Hongkong, sering mengiringi penyanyi2 top Hong Kong seperti Chan Wei Lam (Kelly), Hui Chi On, Andy Lau, Twins, Jackie Cheung, Lee Hacken dll.

 Sejak 1 April 2007, tiap Minggu sore, bersama para pekerja seni Hongkong kelahiran Indonesia, mengadakan pertunjukan musik band dengan lagu2 tempo dulu, Indonesia, Barat dan Tiongkok, disamping menyediakan penyanyi tetap, juga mempersilahkan para tamu untuk tampil menyanyi atau berdansa Ballroom atau Latin, dgn iringan musik band itu.

 Tanggal 1 Juni 2008, memberi pertunjukan musik di Panggung Terbuka Stanley (objek turis Hongkong) dalam rangka Indonesian Festival di Hong Kong. Dengan membawakan lagu2 Sing Sing So, Bengawan Solo, Rayuan Pulau Kelapa, Gembala Sapi, Sarinande, Selendang Sutera dll yang dibawakan oleh penyanyi Liu Fang, Chan Chang Hai dan Bambang Setyobudi (Konsul pada Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong), pemain keyboard Chan Jie Fang dan Thio Keng Bouw, peniup Saxophone Ringo.

(此文转贴自网络)

TOP

返回列表